Thursday, February 8, 2007

SYURA : PERASAN ATAU PEMERASAN?

by aulia agus iswar
Syura merupakan salah satu esensi ajaran Islam yang menjiwai bangunan Islam itu sendiri. Ini menjadi bukti bahwa konsep Islam menentang diktatorisme. Syura dalam Islam sangat menghargai suara atau pendapat mayoritas. “Syaithan itu bersama satu orang, dan ia akan lebih jauh dari dua orang” (HR Tirmidzy). Tapi, konsep syura dalam Islam tidak bisa disamakan dengan sistem teokrasi, demokrasi, mobokrasi, otokrasi, dll. Konsep Islam secara utuh berdiri sendiri, berbeda dengan sistem-sistem yang lain. Memang, ada yang menganggap sistem demokrasi dan nomokrasi adalah sistem yang paling dekat (bukan sama) dengan Islam. Tapi, sekali lagi, Islam memiliki konsep tersendiri yang kemudian konsep tersebut menjadi kumpulan kebaikan sistem-sistem yang ada di Barat dan Timur. Dan Islam menjadi saksi atas keduanya.
Ajaran Islam terdiri dari qath’I dan zhanni. Ada yang sudah jelas dan tegas nash-nya, ada juga yang fleksibel dan debatable. Syura hanya diperbolehkan terhadap permasalahan-permasalahan yang zhanni dan tidak ada nash-nya secara tegas. Misalnya, beberapa (tidak semua) permasalahan mu’ammalah, da’wah, harakah, jihad, kenegaraan, perekonomian, budaya, dll. Ijtihad, yang merupakan inti dari syura, menemui tempatnya di sini. Sedangkan untuk hal-hal yang qath’I (aqidah dan ibadah) tidak ada syura di dalamnya, yang ada hanyalah sam’an wa tha’atan. Hal ini beda dengan agama Krsiten yang memiliki sidang Konsili rutin untuk “syura” membahas dan menyepakati hal-hal aqidah Kristiani sejak Konsili I tahun 325 M di Nicea.
Realitas syura dalam Islam sangat jelas tergambar pada masa Nubuwwah. Pasca masa Nubuwwah, realitas syura ini masih terlihat pada masa Khulafa ar Rasyidun. Pada masa Banu Umayyah, Banu Abbassiyyah, dan Banu Utsmaniyyah, realitas syura ini sudah mulai berkurang; tergantung siapa penguasanya. Pada masa setelah itu, realitas syura dalam tataran global seperti sebelumnya benar-benar telah terkikis. Masa ini adalah masa diktatorisme, penguasa yang sewenang-wenang. Kalaupun ada, syura itu dilakukan oleh serpihan-serpihan terpisah gerakan Islam.
Kitalah salah satu dari serpihan itu. Tradisi syura menjadi agenda keseharian kita. Permasalahan umat yang cukup banyak dan kompleks memang membutuhkan berbagai solusi yang jitu. Penentuan solusi itu hanya dapat ditetapkan melalui mekanisme syura. “Tiada hari tanpa syura”, mungkin begitu gambarannya. Wajar jika kita dikenal dengan “ahlu syura” atau “mansur” (manusia syura). Bahkan, karena sering syura, ada virus baru, yaitu virus SARS (Sedikit Amal Rajin Syura). Lantas, apakah sering syura itu suatu kesalahan? Atau bagaimana? Di mana letak permasalahannya?
Kita harus memahami syura itu terlebih dahulu. Dalam benak kita, syura diartikan sebagai “kumpul-kumpul” tanpa mempedulikan ada pembahasan dan pengambilan keputusan atau tidak. Di sinilah letak permasalahan utamanya. Dengan pemahaman seperti itu, peserta syura cukup merasa datang tepat waktu, duduk mendengarkan, sesekali bicara, setelah itu pulang. Padahal, esensi syura mengehendaki lebih dari itu. Ada perbedaan antara syura dengan rapat (merapatkan posisi duduk). Entitas syura menghendaki adanya pembahasan masalah dan pengambilan keputusan. Kalau tidak ada dua hal ini, maka itu hanyalah rapat yang di dalamnya mungkin hanya ada sosialisasi dan penyampaian informasi-informasi. Jadi harus jelas terlebih dahulu : syura atau rapat? Jika ternyata syura, agenda pembahasan dan pengambilan keputusan harus jelas.
Dengan pandangan demikian, diharapkan peserta akan benar-benar mempersiapkan segala sesuatunya sebelum syura. Ia harus mencari informasi-informasi tentang permasalahan dan usulan solusinya. Sehingga ketika syura, setelah sebelumnya dilakukan penyamaan persepsi terhadap objek permasalahan, akan terjadi pembahasan yang “luar biasa”. Masing-masing peserta syura telah memiliki usulan solusi dan memperbandingkannya dengan yang lain. Dan dicarilah solusi yang paling jitu. Di sinilah “perasan” itu. Maksudnya, syura harus mampu melakukan “perasan” intelektual dari berbagai ide peserta. Ide-ide yang terperas itu akan menghasilkan suatu intisari solusi yang berkualitas yang dimanifestasikan dalam sebuah pengambilan keputusan. Dan itu adalah hasil dari “perasan” intelektual dari pikiran (otak) seluruh peserta syura, bukan beberapa peserta syura. Beda dengan “pemerasan” yang tidak memeras intelektual, tapi memeras yang lain seperti emosional (perasaan) karena merasa tidak terlibat atau memeras hak-hak ukhuwah lainnya. Itu semua terjadi karena kita menganggap syura itu seperti rapat saja, yaitu merapatkan posisi duduk. Wa Allahu A’lam.

No comments: