Thursday, February 8, 2007

MENCARI ISTERI FIR’AUN

by aulia agus iswar
Bayi mungil itu didekap ibunya. Baru saja ia terlahir. Namun perasaan seorang ibu mencemaskannya. Karena berlaku peraturan di negerinya bahwa setiap bayi laki-laki harus dibunuh. Atas perintah dari Allah, bayi itu pun dihanyutkan di sungai Nil. Sampailah bayi itu ke dekat istana Fir’aun, sang penguasa. Asiyah, isteri Fir’aun, melihat bayi itu. Ia sangat menyukai bayi laki-laki itu. Akhirnya, ia memohon kepada Fir’aun agar diizinkan untuk mengambil bayi itu sebagai anak mereka dan ia akan dibesarkan istana. Pada awalnya, Fir’aun menolak, tapi akhirnya bayi itupun diizinkan untuk diangkat sebagai anak. Padahal, tahun itu adalah tahun di mana setiap bayi laki-laki harus dibunuh.
Sebelumnya, Fir’aun pernah bermimpi tentang sesuatu yang sangat menakutkan. Menurut penafsiran mimpi, di masa yang akan datang akan lahir seorang anak laki-laki Bani Israil yang akan menghancurkan kekuasaannya. Kemudian Fir’aun membuat peraturan agar semua bayi laki-laki dibunuh. Tapi seorang penasehat istana memberikan pertimbangan, jika semua bayi laki-laki dibunuh, maka istana tidak akan mendapatkan tenaga laki-laki yang cukup. Pertimbangan inilah yang mengubah keputusan Fir’aun menjadi membunuh seluruh bayi laki-laki di tahun pertama dan membiarkan hidup bayi laki-laki di tahun berikutnya. Demikian seterusnya hingga lahir seorang bayi laki-laki pada tahun di mana bayi laki-laki dibiarkan hidup. Bayi itu bernama Harun. Karena itulah Harun selamat dari pembunuhan oleh Fir’aun. Dan bayi laki-laki yang dihanyutkan ke sungai Nil tadi adalah adiknya, yaitu Musa. Mereka berdualah yang kelak akan membebaskan Bani Israil dari kezhaliman Fir’aun.
Asiyah mendidik dan membesarkan Musa di lingkungan istana. Musa diberikan pengajaran yang banyak. Ia menimba ilmu dari istana dan mengalami langsung kehidupan di dalamnya. Apa yang didapatnya dari istana inilah yang akan menjadi bekal perjalanan da’wahnya bersama Harun di masa yang akan datang. Ini semua adalah berkat jasa Asiyah (dengan campur tangan Allah tentunya) yang memohon kepada Fir’aun untuk mengadopsi Musa. Fir’aun mengabulkan. Dan ia tidak menyadari bahwa bayi itulah yang dikabarkan dalam mimpinya. Hingga suatu ketika, hancurlah Fir’aun beserta kekuasaan dan para pengikutnya; ditenggelamkan di Lautan Merah.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Musa ini adalah bahwa musuh itu bukan diciptakan untuk selalu “dimusuhi” dan “dijauhi”. Fir’aun dan istananya adalah simbol dari kezhaliman, kesombongan, dan keangkaramurkaan. Tapi di dalamnya ada Asiyah yang menjadi simbol kebaikan. Asiyah adalah orang yang beriman dan ia menentang “ketuhanan” Fir’aun. Ia bagaikan sebutir mutiara di dalam kubangan lumpur busuk. Musa “didekatkan” oleh Allah kepada sebutir mutiara itu. Musa dibesarkan oleh mutiara tadi dalam kubangan lumpur istana Fir’aun yang ternyata ada butiran-butiran kebaikan di dalamnya, seperti ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, Musa Sang Pembela Kebenaran itu “mencuri” peradaban Fir’aun untuk kemudian menghancurkan hegemoninya.
Begitulah Islam. Semua sistem yang tidak dilandasi oleh Islam adalah sistem jahili. Sistem yang ada kini seperti liberalisme (demokrasi dan kapitalisme) dan komunisme (sosialisme dan etatisme) semuanya adalah sistem jahili. Peradaban yang dibangunnya pun peradaban jahiliyyah. Tapi, bukan berarti tidak ada “mutiara-mutiara” dan butiran kebaikan di dalamnya. Dalam sistem demokrasi, suara mayoritas sangat dihargai. Ini agak mirip dengan sistem Islam. Beberapa nilai kapitalisme juga ada yang sesuai dengan Islam, yaitu usaha perekonomian serta kebebasan individu. Demikian juga dengan sistem komunisme. Beberapa nilai sosialisme yang menghendaki rasa sosialis (kolektif) juga sesuai dengan Islam. Beberapa nilai etatisme pun begitu, individu tidak diberikan kebebasan secara mutlak, ia harus tunduk kepada aturan negara yang merupakan representasi dari jiwa kolektif.
Nilai-nilai Islam tersebar berserakan di berbagai sistem itu. Dan ini adalah karakter zaman sekarang, yaitu zaman ketika umat Islam belum memiliki kepemimpinan tunggal (al khilafah). Karakter zaman seperti inilah yang mengharuskan pergerakan Islam untuk menyatukan kepingan yang berserakan itu, bukan malah menjauhinya. Justeru kita harus memanfaatkan sistem-sistem itu untuk menyatukan kepingan Islam. Sekali lagi, kita mengingkari sistem dan peradaban jahili itu. Namun bukan berarti kita malah menjauh darinya dan berdiri di tepi-tepi peradaban. Kita harus masuk bahkan sampai ke tengah-tengah dan pusat peradaban.
Karakter zaman sekarang menghendaki penerapan ajaran secara kaaffah belum dapat dilakukan. Sehingga kita “membutuhkan” sistem-sistem dan peradaban jahili itu. Tapi jika satu zaman nanti khilafah sudah berdiri, maka kita sama sekali tidak membutuhkan sistem-sistem itu.
Kini, kita harus mendekati dan masuk ke dalam sistem hegemoni jahili, mencuri peradabannya, “mencari isteri Fir’aun”, dan menghancurkan hegemoni-hegemoni jahili itu dengan membangun hegemoni Islam. Allahu Ma’ana..

No comments: