Sunday, February 18, 2007

MU Library 3rd cont' (personal library)

1111.
SEJARAH ISLAM
Ahmad al Usairy
Akbar

1112.
KETAQWAAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
Abbas Mahmoud al Aqqad
Bulan Bintang

1113.
HISTORY OF THE ARAB
Phillip K. Hitti
Serambi

1114.
PERANG SALIB : SUDUT PANDANG ISLAM
Carole Hillenbrand
Serambi

1115.
ARMAGEDDON : PEPERANGAN AKHIR ZAMAN
Wisnu Sasongko
GIP

1116.
THIS IS THE TRUTH
Al Haramain

1117.
AL BIDAYAH WAN NIHAYAH : MASA KHULAFAURRASYIDIN
Ibnu Katsir
Darul Haq

1118.
FIKIH PRIORITAS
Yusuf al Qaradhawy
GIP

1119.
KEBUDAYAAN ISLAM DALAM PERSPSEKTIF
M. Natsir
Girimukti Pasaka

1120.
ISLAM ANDALUSIA
Ahmad Thomson & Muh. Ata’ur Rahim
Griya Media Pratama

1121.
TANTANGAN WANITA MODERN
Colette Dowling
Erlangga

1122.
MUSLIMAH ABAD 21
Siti Zulaikha, dkk.
GIP

1123.
MARKETING PLUS I
Hermawan Kartajaya
Sinar Harapan

1124.
MARKETING PLUS IV
Hermawan Kartajaya
Sinar Harapan

1125.
BAHAYA KEMUNDURAN UMAT ISLAM
As Sayyid Abul Hasan Ali al Hasani an Nadwi
Pustaka Setia

1126.
FIRQATUN NAJIYYAH, THAIFAH AL MANSHURAH & GHURABA
Salman al Audah
Pustaka al Kautsar

1127.
ANATOMI BUDAK KUFAR
Muhammad Yaqzhan
Al Ghirah Press

1128.
AMERIKA NOMOR 1
Andrew L. Saphiro
Pustaka Firdaus

1129.
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN MODERN
Achmad Baiquni
Pustaka

1130.
AL ’UBUDIYAH
Ibnu Taimiyyah
Bina Ilmu

1131.
ORIENTALISME, POSMODERNISME DAN GLOBALISME
Bryan S. Turner
Riora Cipta

1132.
MANHAJ HARAKI I
Munir Muhammad al Ghadban
Robbani Press

1133.
THE BIBLE CODE 2
Michael Drosnin
Phoenix

1134.
KEAGUNGAN ABU BAKAR ASH SHIDDIQ
Abbas Mahmoud al Aqqad
Pustaka Mantiq

1135.
FILSAFAT ILMU
Jujun S. Sumantri
Sinar Harapan

1136.
NILAI WANITA
Moenawir Chalil
Ramadhan

1137.
THE RELIGIONS OF MAN
Huston Smith
New American Library

1138.
BAHAYA TAFSIQ, TAKFIR & TABDIR
Shalih Fauzan al Fauzan
Pustaka Imam Bukhari

1139.
SOCIAL CLASSES IMPERIALISM
Joseph Schumpeter
Meridian Books

1140.
THE ORIGIN OF SPECIES
Charles Darwin
The New American Library

1141.
ISLAM IN MODERN HISTORY
Wilfred Cantwell Smith
The New American Library

1142.
MARX & ENGELS : BASIC WRITINGS ON POLITICS & PHILOSOPHY
Auckdor Books

1143.
FORCE & FREEDOM
Jacob Burckhardt
Meridian Books

1144.
INTRODUCTION TO POLITICAL SCIENCE
Carlton Clymer Rodee, dkk.
McGraw Hill

1145.
A HISTORY OF WORLD SOCIETES (to 1715)
John P. Mc Kay, Bennett D. Hill & John Buckler
Hongton Mifflein

1146.
DISTORSI SEJARAH DAN AJARAN YESUS
Rauf Syalabi
Pustaka al Kautsar

1147.
LIBERATION MANAGEMENT
Tom Peters
Pan Books

1148.
BATTLE GROUND : FACT & FANTASY IN PALESTINE
Samuel Katz
Bantam Books

1149.
JALAN PARADOKS
Teraju

1150.
AQIDAH ISLAM DALAM TANYA JAWAB
Abdul Aziz Muhammad Salman
Pustaka Shadra

1151.
MANAJEMEN PENGETAHUAN
Carl Frappaolo
Prestasi Pustaka

1152.
10 KEKASIH ALLAH
Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Pustaka Azzam

1153.
MAPPING HUMAN HISTORY
Steve Olson
Serambi

1154.
BEYOND LEFT AND RIGHT
Anthony Giddens
IRCISOD

1155.
PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
Harun Nasution
Bulan Bintang

1156.
KRITIK ATAS EKONOMI KIRI BARU
Asar Lindbeck
LP3ES

1157.
ISME-ISME YANG MENGGUNCANG DUNIA
William Ebenstein
Narasi

1158.
GELOMBANG DEMOKRATISASI KETIGA
Samuel P. Huntington
Grafiti

1159.
A HISTORY OF THE WESTERN WORLD
L.J. Cheney
The New American Library

1160.
BEBERAPA STUDI TENTANG ISLAM
Sayyid Quthb
Media Da’wah

1161.
ALLAH
Sa’id Hawa
Pustaka Mantiq

1162.
TEAM BUSH
Donald F. Kettl
BIP

1163.
PEMERINTAHAN TUHAN
Arifin Muftie
Kiblat

1164.
STRATEGI DARI TIGA KERAJAAN
Lucky Publisher

1165.
MERAJUT TRADISI SYARI’AH DENGAN SUFISME
M. Abdul Haq Ansari
Srigunting

1166.
ASAL-USUL TOTALITERISME II
Hannah Arendt
YOI

1167.
ARSITEK PERADABAN
M. Anis Matta
Fithrah Rabbani

1168.
OPEN SOCIETY
George Soros
YOI

1169.
MENYINGKAP TABIR FASISME
Harun Yahya
Dzikra

1170.
KEESAAN TUHAN
O. Hasheem
Al Huda

1171.
ANCAMAN GLOBAL FREEMASONRY
Harun Yahya
Dzikra

1172.
AGAMA DAN BUDAYA AMERIKA
George M. Marseden
Sinar Harapan

1173.
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Muhammad Quthb
Al Ma’arif

1174.
BAGAIMANA MENGENALI ANTI-CHRIST
Saleem Kirban
Dabara Publisher

1175.
PRICE OF HONOUR
Jan Goodwin
Warner Books

1176.
KEBEBASAN DAN MARTABAT MANUSIA
Raymond Aroyo
YOI

1177.
SUSUNAN MASYARAKAT ISLAM II
Reuben Levy
YOI

1178.
YAHUDI MENGGENGGAM DUNIA
William G. Carr
Pustaka al Kautsar

1179.
IDEOLOGY & ECONOMIC THEORY
Maurice Dobb
Cambridge University Press

1180.
KERAJAAN PETRODOLAR ARAB SAUDI
Robert Lacey
Pustaka Jaya

1181.
THE NEW ASIA
New American Library

1182.
SEVEN SISTERS
Anthony Sampson
Bantam

1183.
REINVENTING THE CORPORATION
John Naisbitt & Patricia Aburdence
Warner Books

1184.
THE SOONG DINASTY
Sterling Seagrave
Sidgwick & Jackson

1185.
HOLY BLOOD, HOLY GRAIL
Michael Baigent, Richard Leigh & Henry Lincoln
Ufuk Press

1186.
KING SOLOMON’S TEMPLE IN THE MASONIC TRADITION
Alex Horne
The Aquarian Press

1187.
WANITA DALAM SEJARAH ISLAM
Charis Waddy
Pustaka Jaya

1188.
THE WANING OF THE MIDDLE AGES
John Huizinga
Doubleday Anchor

1189.
YAMANI
Jeffrey Robinson
Fontana

1190.
KABAR ANGIN DARI LANGIT
Peter L. Berger
LP3ES

1191.
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF
Lexy J. Moleong
Remadja Karya

1192.
IRON LADIES
Beatrix Campbell
Varago

1193.
THE TWILIGHT OF SOVEREIGNTY
Walter B. Wriston
Remadja ROSDA Karya

1194.
46 KIAT PRAKTIS MERAIH PAHALA
Khalid bin Abdurrahman
Al Jannah

1195.
ISLAM, DA’WAH & POLITIK
Pustaka Thariqul ‘Izzah

1196.
BANGKIT DARI KETERPURUKAN
Muhammad Quthb
Nuansa Press

1197.
ISLAM, ARAB DAN YAHUDI ZIONISME
Muhammad al Ghazaly
Ghalia Indonesia

1198.
AL ISLAM I
Sa’id Hawa
Al I’tishom

1199.
CAN ASIAN THINKS?
Kishore Mahbubani
Times Books International

1200.
KALA YESUS JADI TUHAN
Richard E. Rubenstein
Serambi

1201.
TRUST : THE SOCIAL VIRTUES AND THE CREATION OF PROSPERITY
Francis Fukuyama
Hamish Hamilton

1202.
THE TEMPLAR REVELATION
Lynn Picknett & Clive Prince
Serambi

1203.
DUNIA BARU ISLAM
Lothrop Stoddard

1204.
PERSPEKTIF PERADABAN
Muhammad Jabir Beg
Pustaka

Sunday, February 11, 2007

KESAH (poem)

Kawan....
Adakah kau dengar keluhku
Di kesunyian malam yang kelam itu
Seorang diri kuselimutkan kelambu
Tirainya tetap mendinginkan igaku

Kawan...
Adalah diriku yang terhempas
Laksana buih di laut lepas
Dengan bekal kapas seutas
Dan goresan pena di atas kertas

Kawan...
Ku tak tahu yang terjadi
Dengan umat kita yng terang ini
Karena dosakukah ini terjadi
Terhadap diriku yang hina ini
Yang mencari raja diri

Kawan...
Adakah pemimpin terpercaya
Tulisan pun kita harus waspada
Ke manakah kucacakkan kaki hina
Yang tak tahu arah tujuannya

Kawan...
Demi Jiwa yang aku yang ada di genggamanNya
Tunjukkan jalan rasul dan shahabatnya
Untuk perjalananku selanjutnya
Untuk perjalanan kita seterusnya
Memayungi diri dan umat kita
Dari panas hujan musuh yang tak teraba

-jakarta, 2000-

SUARA HATI PEWARIS NEGERI (poem)

Perjalanan ke pelosok negeri
Menyembur arti kehidupan kini
Tiada hela yang tersisa
Bagi tungku panas membara
Juga makar yang semakin gila

Derap kaki berkuda
Seruling-seruling buaian neraka
Dentingan logam berkilat
Rintihan suci anak manusia
Nodai negeri nan terhampar sia

Penghuni yang hanya mendosa
Berlaku apa yang disuka
Tak lagi hiraukan apa yang di mula
Semburat bayu lembah terbara
Hitam kelam tersembur di kaki angkasa

Benang putih nusantara kini memerah
Tetesan darah di muka pertiwi yang peluh
Membanjiri setiap lorong peradaban
Di dalamnya ada penanam kenikmatan
Susuri titian menyongsong fajar kebangkitan

-jakarta, 2000-

PERJALANAN (poem)

Dalam kepekatan aku berjalan menyusuri titian
Dengan bekal lilin sebagai dian di tangan
Kedinginan di muka tubuh semakin kurasakan
Juga di kaki pedih yang tak beralaskan
Kerikil onak duri yang tajam
Melukai telapak kaki yang halus dan lembut nian
Kutahankan...
Sebuah batu tak terlihat kusandungkan
Jatuh perosok di bumi terhamparkan
Tapi dian tetap di tangan kanan
Luka di tubuh kutahankan
Bangkit kemudian diteruskan jalan
Dengan meringis kesakitan kulajukan
Tak peduli apa pun di depan sana tantangan
Dengan tertatih kuberjalan
Tapi gerimis tak dipanggil pun datang bersahutan
Titik air laksana ribuan jarum di kulit permukaan
Pediiiihhh...
Kulindungi dian
Sambil terus berjalan

-jakarta, 2000-

PERANG PERADABAN (poem)

Di waktu senggang, engkau datang
Di waktu lengang, engkau menentang
Dengan gemerincing logam
Kau sertakan kesumat dendam

Alangkah manis tutur katamu
Membentur kami yang termangu
Tiada seluruh laksana itu
Ada kami yang menunggu

Pengekormu adalah kematian
Bagi kami yang ditinggalkan
Oleh pedang sang penentang
Demi kejahilan yang meradang

Kau sibak cerita dulu
Kau susupkan rancu
Dengan lidah madumu
Di balik topeng kebiadabanmu

Kami tak butuh air matamu
Kami susuri lembar sirahmu
Tiada lain dari yang dulu
Peluh serigala tanduk berbulu

Tak usah mengingkari perang
Karena pedang telah menghadang
Di jiwamu ada dendam
Di jiwaku ada rindu terpendam
Perang!!!

-jakarta, 2000-

LORONG-LORONG PERADABAN (poem)

Tatkala kuseru rayuan
Tatkala kulepas keinginan
Tak ada arah perbaikan
Tuk diri hanyalah rintihan

Hidup semakin membara
Masa berlalu dengan cepatnya
Sampah pun merajalela
Penyimpangan yang tak terkira

Kebenaran yang kita cintakan
Keadilan yang kita muliakan
Kejujuran yang kita budikan
Di bumi terkuburkan
Hanya kemunafikan yang tertinggalkan
Sang tirani pengawal kehancuran
Cadar-cadar pengkhianatan
Menimba air perigi kebinasaan
Oleh taring kebiadaban

Kini payung pun berwarna
Penuh lubang di mana-mana

Dan yang ada hanyalah harapan
Dari kami yang terhamparkan
Dengan peluh penderitaan
Yang sebenarnya adalah kenikmatan

-jakarta, 2000-

Thursday, February 8, 2007

KEBANGKITAN MUSLIM SEBELUM KEBANGKITAN ISLAM

by : aulia agus iswar
Allah SWT Berfirman : ”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. an Nur : 55).
Melalui ayat ini Allah SWT memberikan janji kemenangan dan kejayaan kepada umat Islam. Dan janji itu bukanlah janji yang diberikan begitu saja, tapi ia membutuhkan syarat. Ada dua syarat, yaitu bahwa kemenangan dan kejayaan hanya akan Allah Berikan kepada mereka-mereka yang beriman dan melakukan ’amal-’amal shalih. Syarat pertama adalah beriman. Syarat kedua adalah beramal shalih. Di sini ditekankan bahwa cita-cita dan impian itu membutuhkan usaha dan perjuangan.
Dua syarat di atas diasosiasikan kepada entitas orangnya, yaitu kaum muslimin. Sedangkan kemenangan dan kejayaan diasosiasikan kepada entitas Islam-nya. Sudah menjadi sunnatullah bahwa suatu perubahan akan terjadi ketika dimulai dengan perubahan pada manusia-manusianya. Secara logis, entitas Islam itu akan sangat bergantung dari manusia-manusia muslim yang ada di dalamnya.
Rasulullah pun begitu. Beliau melakukan tarbiyyah (pembinaan) dengan mengislamkan terlebih dahulu individu-individu muslim di Makkah. Beliau tanamkan aqidah sebelum menanamkan yang lain. Setelah itu Rasulullah berharakah dan berda’wah. Kemudian Rasulullah berhijrah dan memantapkan sendi-sendi Islam di Madinah dengan da’wah dan harakah. Sampai akhirnya berdirilah daulah Islam di Madinah. Hingga takluklah Makkah dalam pembukaan kota Makkah (fathu makkah). Dan kemenangan serta kejayaan Islam ada dalam genggaman umat Islam. Jadi, Rasulullah pun membina individu-individu terlebih dahulu supaya mereka beriman. Kemudian Rasulullah mengajak mereka beramal shalih dengan melakukan da’wah dan harakah bersama-sama (berjama’ah). Dan ketika syarat-syarat ini terpenuhi, menanglah al Islam hingga meraih kejayaannya hingga sekitar tahun 1000-an M. Pada rentang tahun 1000 s.d. 1200-an M, umat Islam mengalami kemunduran bahkan sempat ”runtuh” untuk pertama kalinya meskipun ilmu pengetahuan umat Islam masih sangat maju; pernah sekitar 3 tahun tidak memiliki khalifah. Serangan tentara kafir dalam Perang Salib pun terjadi di masa ini yaitu dimulai tahun 1096 M dan 1099 M bumi Palestina jatuh ke tangan tentara kafir. Pada tahun 1258 M, Tentara Mongol Tartar berhasil membumihanguskan Bani Abbassiyyah. Setelah itu umat Islam bangkit dan meraih kembali kejayaannya di tangan Bani Mamluk dan Bani Utsmaniyyah.
Dan ketahuilah bahwa sejak keruntuhan Bani Utsmaniyyah tahun 1924 M, umat Islam runtuh untuk kedua kalinya. Setelah itu umat Islam benar-benar terpuruk dari segala dimensi kehidupan. Dan bermunculanlah kembali harakah-harakah (gerakan-gerakan Islam) yang bertujuan untuk kembali meraih kejayaan Islam dengan melakukan rekonstruksi pemikiran dan gerakan. Harakah-harakah itu mengimplementasikan suatu konsep mega-proyek kebangkitan Islam dalam ranah praktis dan konkret.
Dan kini, gema kebangkitan Islam (shahwah Islamiyyah) telah lantang membahana. Dan yang patut kita cermati adalah bahwa kebangkitan Islam itu sangat bergantung dari kebangkitan musliminnya. Jika manusia-manusia muslim tidak bangkit, maka wajar jika Islam juga tidak akan pernah bangkit! Maka, binalah pribadi manusia-manusia muslim itu, maka Islam itu akan meraih kemenangan dan menyongsong kejayaannya yang gemilang. Bangkitkan kaum muslimin, maka Islam pun akan bangkit! Aqimul islam fi nafsik, taqim fi baladik. Allahu Akbar!!!

MUSLIM PARADOX (haroki version)

by aulia agus iswar
Seseorang yang bernama Syaikh Muhammad Abduh pernah memperbandingkan antara kehidupan masyarakat di Eropa dan Amerika dengan kehidupan masyarakat di neegri-negeri muslim. Hingga beliau berujar yang kurang lebih isinya : ”Di negeri barat, aku tidak menemukan orang Islam di sana, tapi aku lihat Islam ada di mana-mana. Sedangkan di negeri-negeri muslim aku banyak melihat ada orang Islam di mana-mana, tapi aku tidak melihat Islam di sana.”
Pernyataan di atas, kalau kita cermati, selain merupakan ungkapan keprihatinan juga merupakan pencerdasan membangun. Mengapa pernyataan seperti itu terlontar? Tentunya bukan karena luapan emosional belaka. Beliau melihat bahwa sesungguhnya umat Islam menerapkan sebagian ajaran agamanya. Demikian juga orang-orang barat pun menerapkan sebagian ajaran Islam, baik kita sadari atau tidak. Umat Islam belumlah menerapkan ajaran agamanya secara utuh (kaaffah), masih sebagian. Keislaman orang Islam masih berkisar pada hal-hal ibadah dan keakhiratan (ukhrawi/sacral). Orang-orang Islam itu beriman kepada ajaran Islam dan beribadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Hanya itu. Sedangkan orang-orang kafir juga melaksanakan ajaran Islam yang lain berupa hal-hal keduniaan (profan) seperti kejujuran, kedisplinan, semangat yang tinggi, kerajinan, kerja keras, dsb, meskipun mereka tidak beriman kepada keimanan Islam. Dan hanya itu yang mereka lakukan.
Kini kita lihat pula realitas lain yang mendukung pernyataan Syaikh. Islam mengajarkan untuk berdisiplin, tapi kenyataannya banyak kita orang Islam yang tidak disiplin. Islam mengajarkan kejujuran, tapi kenyataannya banyak kita orang Islam yang tidak jujur. Islam sangat melarang korupsi, tapi ternyata yang koruptor kebanyakan orang Islam. Islam memerintahkan kita umatnya untuk rajin, kerja keras, dan bersemangat tinggi. Tapi realitasnya, kita umat islam banyak yang terjerat kemalasan, tidak mau bekerja keras, semangat rendah, dan mudah menyerah. Anehkah hal ini? Ya, keanehan inilah yang dinamakan paradox (bertentangan itu).
Pertentangan antara umat Islam dengan Islam diibaratkan seperti ”antara langit dan bumi” atau ”bainassama’ washshumur”. Islam itu seperti langit yang tinggi menjulang. Sedangkan umat Islam itu seperti sumur yang lebih dalam dari bumi. Sangat jauh jarak keduanya.Dan tugas-tugas kitalah untuk mendekatkan Islam yang langit itu dengan muslim yang sumur. Ya Allahummaghfirlana... tsumma wanshurna...

SEMESTA RUHIYYAH (UNIVERSE OF SOULNESS)

by aulia agus iswar
Setiap manusia (khalifah) telah dianugerahi oleh Allah berupa potensi ruhiyyah atau kejiwaan. Anugerah ruhiyyah ini adalah anugerah yang paling fundamental, karena segala perilaku manusia dimotori olehnya. Di dalam ruhiyyah inilah ada potensi al qalbu yang kata Rasulullah adalah ”raja diri”. Jika al qalbu itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuh. Demikian juga dengan sebaliknya, kalau al qalbu itu rusak, maka rusaklah seluruh perilakunya. Berarti, jika ruhiyyahnya sehat dan basah, maka seluruh aktivitas dirinya akan sehat dan segar. Dan demikian juga sebaliknya, jika ruhiyyahnya sakit sakit dan kering, maka seluruh aktivitasnya akan sakit dan kerontang.
Ruh atau kejiwaan manusia setidak-tidaknya mencakup tiga hal, yaitu al basyar, an naas, dan al insan. Ketiga terminologi ini digunakan untuk menyebut kata ”manusia” di dalam al Quran dengan penekanan yang berbeda-beda sesuai dengan derajatnya.
Terminologi al basyar menyebut manusia sebagai pemilik unsur fisiologis atau biologis. Manusia tentunya memiliki kebutuhan-kebutuhan jasadi seperti makan, minum, kesehatan, dan kebutuhan biologis lainnya. Seorang khalifah pun harus memenuhi kebutuhan ini, karena ia membutuhkan ruh al basyar.
Terminologi an naas menyebut manusia sebagai pemilik unsur sosial. Manusia memiliki kebutuhan terhadap manusia-manusia yang lain. Hal ini disebabkan karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendirian. Khalifah tidak bisa membangun suatu peradaban sendirian. Di sinilah seorang khalifah membutuhkan ruh an naas itu.
Terminologi al insan menyebut manusia sebagai pemilik unsur psikologis atau spiritual. Manusia juga memiliki kebutuhan yang mendasar, yaitu pemenuhan terhadap kepuasan psikologis dan spiritual. Al insan juga menyebut manusia sebagai pemilik tanggung jawab dan amanah yang sangatlah berat. Di sinilah seorang khalifah membutuhkan ruh al insan itu.
Ada yang unik di sini, yaitu bahwa ruh al basyar, ruh al naas, dan ruh al insan memiliki sinergitas dengan teori hierarchy of needs yang dicetuskan oleh Abraham Maslow. Teori tersebut menyatakan bahwa motivasi manusia dalam kehidupannya diklasifikasikan dan diurutkan menjadi enam tingkatan hierarkis. Tingkatan yang pertama adalah physiological needs (kebutuhan fisiologis) seperti makan dan minum. Tingkatan kedua adalah safety needs (kebutuhan akan rasa aman) seperti perlindungan, rumah, dsb. Tingkatan ketiga adalah social needs (kebutuhan sosial) seperti berteman dan bersahabat dengan orang lain. Tingkatan keempat adalah self-esteem needs (kebutuhan akan harga diri) seperti butuh dihargai dan diperlakukan sebagaimana layaknya. Tingkat kelima adalah self-actualization needs (kebutuhan akan aktualisasi diri) seperti kebutuhan karier, pengembangan diri, mengaplikasikan potensi-potensi diri, dsb. Pada awalnya, Maslow hanya mencetuskan lima kebutuhan ini. Tapi perlu diketahui bahwa Maslow, setelah sekian waktu lamanya, mencetuskan bahwa ada kebutuhan keenam, yaitu spiritual needs (kebutuhan spiritual).
Jika dihubungkan, maka ruh al basyar adalah ruh yang mencakup kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman. Hubungan ini adalah hubungan ruh terendah (the lowest connection of soul). Kemudian ruh an naas adalah ruh yang mencakup kebutuhan sosial dan kebutuhan harga diri. Hubungan ini adalah hubungan ruh menengah (middle connection of soul). Dan sedangkan ruh al insan adalah ruh yang mencakup kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan spiritual. Hubungan di sini adalah hubungan ruh tertinggi (the highest connection of soul).
Dengan ketiga hubungan di atas, maka kita dapat mengklasifikasikan manusia ke dalam tiga golongan. Golongan pertama adalah golongan manusia yang seluruh aktivitas hidupnya hanya difokuskan untuk melaksanakan hubungan pertama dan terendah tadi, yaitu seperti untuk makan, minum, kesehatan, rasa aman, dsb. Golongan kedua adalah golongan manusia yang seluruh aktivitas hidupnya, tanpa melupakan hubungan pertama, difokuskan untuk melaksanakan hubungan kedua, yaitu seperti rasa sosial, meraih penghargaan atas diri, dsb. Golongan ketiga adalah golongan manusia yang seluruh aktivitas hidupnya, tanpa melupakan hubungan kedua dan pertama, difokuskan untuk melaksanakan hubungan ketiga, yaitu seperti kebutuhan untuk mengaktualisasikan potensi diri (tarbiyyah, da’wah dan berharakah misalnya) dan kebutuhan spiritual (beribadah mahdhah, bermuhassabah, bermu’aqabah, bermuraqabatullah, misalnya).
Ketahuilah, seorang khalifah adalah seseorang yang berada pada golongan ketiga. Ia melaksanakan seluruh tingkatan dan hubungan itu dengan ruh al insan sebagai fokus utamanya. Allahu A’lam.

SEMESTA FIKRIYYAH (UNIVERSE OF MINDNESS)

by aulia agus iswar
Setiap manusia (khalifah) telah dianugerahi oleh Allah berupa akal dan pikiran. Dengan anugerah inilah manusia bisa menyerap apa saja yang ada pada dunia di luar dirinya. Dunia di luar diri manuisa itu bisa berbentuk fisik riil maupun yang berbentuk maya. Dunia yang berbentuk fisik riil contohnya seperti benda yang bisa dilihat dan dipegang ataupun suatu peristiwa yang bisa dilihat dan didengar secara langsung. Dunia yang berbentuk maya contohnya seperti ide-ide atau gagasan. Serapan terhadap dunia fisik dan maya inilah yang akan menjadi simpanan memori akal atau pikiran kita.
Berbicara memori akal dan pikiran, kita tidak dapat menegasikan tentang apa yang disebut dengan rantai pengetahuan (knowledge-chain). Apa yang dimaksud dengan simpanan memori di sini adalah rantai pengetahuan itu. Rantai pengetahuan di sini dapat diartikan sebagai proses ”sesuatu” dari mulai sebelum menjadi pengetahuan (pre-knowledge), ketika menjadi pengetahuan (knowledge), dan ketika setelah menjadi pengetahuan (post-knowledge).
Lebih spesifiknya, rantai pengetahuan itu dimulai dengan ”sesuatu” yang disebut dengan fakta (fact). Kemudian fakta-fakta yang sudah diolah menjadi data. Kemudian data-data yang sudah diolah akan menjadi informasi (information). Informasi-informasi yang sudah diolah akan menjadi pengetahuan (knowledge). Pengetahuan-pengetahuan kemudian akan menjadi kebajikan (wisdom). Dan kebajikan-kebajikan kemudian bertemu dengan keyakinan (faith).
Maka, dari arti seperti itu, kita dapat mengklasifikasikan ”sesuatu” yang ada dalam memori akal dan pikiran manusia (khalifah). Jadi, memori-memori akal dan pikiran kita diisi oleh fakta-fakta, data-data, informasi-informasi, pengetahuan-pengetahuan, kebajikan-kebajikan, dan keyakinan-keyakinan.
Fakta adalah kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa riil yang terlihat dan terdengar oleh kita, atau bahkan kita sendiri yang secara langsung mengalami peristiwa itu. Fakta belum terbukti kebenarannya. Contoh fakta adalah seperti ketika kita melihat seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya, atau melihat suatu peristiwa heroik seorang yang berhasil melumpuhkan sekawanan penjahat secara sendirian, atau mendengar suatu berita kemenangan Islam di suatu negeri, dan lain-lain.
Data adalah kumpulan fakta yang sudah terolah dalam artian sudah terekam (recorded) dalam memori kita tapi belum tersistematisasi dan belum memiliki makna tertentu. Data juga masih harus dibuktikan. Contohnya seperti fakta guru tadi, seorang yang heroik, dan berita kemenangan telah terekam dalam memori.
Informasi adalah kumpulan data yang telah terorganisasi secara sistematis dan membentuk satu makna tertentu serta telah terbuktikan dan teruji, tapi belum memiliki nilai aplikasi (masih teoritis). Contohnya seperti ilmu-ilmu tentang guru mengajar, ilmu tentang heroistis, dan ilmu tentang kemenangan Islam tadi.
Pengetahuan adalah kumpulan informasi yang telah memiliki makna lebih berupa nilai aplikasi (’amaliyyah). Contohnya seperti pemahaman (al fahmu) tentang ilmu-ilmu bagaimana cara guru mengajar, bagaimana cara seorang melakukan tindakan heroik, dan bagaimana cara mencapai kemenangan tadi. Pemahaman memiliki unsur ilmu (teoritis) dan aplikasinya (praktik) sekaligus.
Kebajikan adalah kumpulan pengetahuan yang lebih tersistematisasi (saling terhubung) dan kemudian membentuk nilai-nilai mendalam yang bermakna lebih secara filosofis (holistik, komprehensif, esensial). Contohnya nilai-nilai kebajikan dan filosofis seperti apa motivasi nilai fundamental dari guru, heroik, dan berita kemenangan tadi.
Keyakinan adalah kumpulan kebajikan yang kemudian menjadi nilai mendalam yang mendarah daging. Di sisi lain, bisa juga diartikan keyakinan adalah sesuatu yang berasal langsung dari Allah seperti al Quran dan as Sunnah. Contohnya seperti nilai-nilai keyakinan (spiritual) dari aktivitas guru, heroik, dan berita kemenangan tadi.
Nah, idealnya, seorang khalifah haruslah memiliki komposisi simpanan memori yang proporsional. Ia haruslah memiliki komposisi fakta, data, infromasi, pengetahuan, kebajikan, dan keyakinan yang proporsional (tawazun). Mungkin di antara manusia ada yang memiliki sangat banyak fakta dan data dalam memorinya, namun sangat sedikit informasi, pengetahuan, kebajikan dan keyakinan dalam memori dirinya. Atau ada juga manusia yang memiliki memori kebajikan dan keyakinan yang sangat banyak, tapi sangat sedikit memori fakta, data, informasi, dan pengetahuannya. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan kondisi manusia dalam hal komposisi memori akal dan pikirannya. Maka, sekali lagi, seorang khalifah haruslah memiliki simpanan memori berupa fakta, data, informasi, pengetahuan, kebajikan, dan keyakinan yang semuanya dalam komposisi besar dan proporsional. Sehingga, seorang khalifah akan memiliki wawasan yang luas (mutsaqiful fikr), dan tidak sempit wawasan. Allahu A’lam.

SEMESTA JASADIYYAH (UNIVERSE OF BODINESS)

by aulia agus iswar
Tubuh (jasad) manusia juga merupakan anugerah Allah yang besar. Potensi tersembunyi dalam tubuh sangat dahsyat dan luar biasa. Tapi banyak di antara kita yang tidak menyadarinya. Wajar, karena kita melihat tubuh luar kita sangat lemah dan rentan.
Kulit yang membungkus daging tubuh kita sangatlah tipis. Goresan sedikit saja bisa merobeknya. Kulit kita jelas berbeda dengan kulit buaya atau gajah yang sangat tebal. Kuku kita juga sangat lemah mudah terpotong dan terkelupas. Kuku kita juga jelas berbeda dengan kuku harimau atau kuku beruang yang sangat tajam dan kuat. Tatapan mata kita juga mungkin tidak setajam tatapan mata seekor elang. Indera penciuman kita juga mungkin tidak sekuat anjing. Kekuatan pukulan dan cengkeraman tangan kita mungkin tidak sehebat pukulan gorila. Tendangan kaki kita juga mungkin tidak sekuat tendangan gajah. Lompatan kita pun mungkin tidak setinggi kucing yang mampu melompat dengan ketinggian berlipat-lipat dari tinggi tubuhnya. Kecepatan lari kita juga mungkin tidak secepat cheetah yang bisa berlari dengan kecepatan 110 km/jam. Tubuh kita juga mungkin tidak selincah kera. Kita juga mungkin tidak bisa meloncat sejauh kangguru. Mungkin kita juga tidak bisa memanjat dinding dengan merayap seperti seekor laba-laba. Mungkin kita juga tidak bisa terbang seperti burung rajawali. Kekuatan kita juga mungkin tidak seperti kekuatan banteng yang bisa menjungkirbalikkan manusia seenaknya dengan serudukan kedua tanduknya. Dan mungkin tubuh kita juga tidak seindah burung merak.
Tapi ketahuilah, bahwa semua ketidakmungkinan itu bisa terwujud, karena potensi tubuh kita menyimpannya. Allah telah Menciptakan tubuh kita dengan keadaan paling sempurna. Tubuh kita menyimpan seluruh potensi fisik hewan-hewan tadi.
Sesungguhnya kulit kita bisa sekuat buaya atau gajah. Kulit kita bisa tidak mudah tersayat dan robek. Kita bisa lihat contoh para pendekar shaolin yang kulitnya tidak terluka ketika ditusuk dengan tombak dan disabet dengan golok berkat latihan yang lama, tidak instan dan tidak menggunakan tenaga jin-alam ghaib yang berpotensi syirik.
Cakaran kita bisa sekuat cakaran harimau dan beruang. Jika dilatih dengan tekun, cakaran kita bisa meremukkan tulang. Kita juga bisa memanjat dinding dengan merayap seperti laba-laba dengan kekuatan cengkeraman kita yang sudah terlatih.
Tatapan mata kita juga bisa setajam elang. Penciuman kita juga bisa sesensitif anjing.
Pukulan kita juga bisa sekuat gorila bahkan mungkin lebih. Kekuatan tendangan kaki kita juga bisa sekuat tendangan gajah. Kekuatan kita juga bisa sekuat banteng, bahkan lebih, karena pernah ada orang yang menjatuhkan banteng dengan sekali pukulan tangan. Ada juga orang yang bisa menghancurkan atau mematahkan batu kali dengan satu kali tusukan jari dan sabetan tangannya. Ada orang yang bisa meremukkan kepala manusia dengan tamparan telapak tangannya semudah memecahkan telur mentah.
Kita pun bisa melompat tinggi seperti kucing. Kita juga bisa meloncat jauh seperti kanguru. Kita juga bisa terbang meskipun tidak benar-benar terbang seperti rajawali. Gerakan kita juga bisa selincah dan segesit kera. Ada orang yang bisa melayangkan 5 kali tendangan di udara dengan satu lompatan tanpa mendarat. Ada orang yang bisa meloncati belasan bahkan puluhan orang yang berbaris memanjang. Ada orang yang bisa ”terbang” dengan berlari di dinding dengan sudut kemiringan 90 derajat.
Kita juga bisa berlari dengan kecepatan tinggi meskipun tidak bisa menyamai kecepatan lari cheetah.
Kita juga bisa jauh lebih indah dari burung merak atau cenderawasih dengan bentuk tubuh kita yang atletis dilengkapi dengan keindahan pakaian.
Semuanya itu bukanlah hal yang mustahil. Semua kemungkinan tadi bisa diraih dengan murni latihan fisik, tidak menggunakan kekuatan mistis yang syirik. Dalam tubuh kita ada yang disebut dengan energi vital (chi) atau inner power yang tersembunyi. Energi ini sangat besar potensinya. Jika kita mau mengolah dan melatihnya, maka ia akan memiliki manfaat yang luar biasa. Jika kita tidak mengolahnya pun, energi ini akan muncul pada saat-saat yang ”darurat” dan ”mendesak”. Ada seorang ibu yang terdesak karena anak kecilnya terjebak di bawah himpitan mobil yang terbalik. Kemudian ibu itu mengangkat mobil hanya dengan kedua tangannya. Subhanallah. Mobil itu terangkat dan anaknya selamat, padahal mobil itu baru bisa diangkat oleh 4-5 orang atlet angkat besi (lifter). Atau kita juga bisa berlari dengan sangat kencang ketika dikejar anjing atau penjahat. Kita juga bisa melompati atau memanjat dinding karena dikejar harimau. Energi vital ini juga akan ”keluar” ketika kita sedang berpuasa sebagai ganti asupan energi dari makanan dan minuman yang berkurang. Di sinilah rahasianya mengapa Rasulullah dan umat Islam berhasil memenangkan Perang Badar pada bulan Ramadhan.
Dengan segala potensi dan kemungkinan-kemungkinan kita di atas, akan terasa berat jika seluruh waktu kita dihabiskan hanya untuk melatih seluruh potensi tubuh tadi. Sebagai solusi, setidak-tidaknya minimal kita harus melatih satu potensi tubuh kita. Pilihlah : melatih kekuatan, kelincahan, sensitivitas, atau kegesitan. Allahu Musta’an.

MUSLIM PARADOX (gaul version)

by aulia agus iswar
Bro&Sis, judul di atas bukan judul novel lho, apalagi judul film fiksi Hollywood ato Bollywood punya. Judul ini justreu nyeritain tentang sebuah kenyataan. Maksudnya kenyataan apa yah?Begini ceritanya…(bukan bo’ongan lho! Suer dah!)Terbetiklah kisah seorang reformis (mujaddid) muslim bernama syaikh Muhammad ‘Abduh (sekitar abad XIX di Mesir). Suatu ketika bliao masuk ke sebuah restoran di Eropa. Tiba-tiba bliao melihat tulisan (kayak mading kali ya?) yang kurang–lebih isinya “sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk udara”. Bliao mikir-mikir sampe ngeluarin ungkapan yang terkenal : “Di Barat, saya tidak menemukan orang Islam, tapi saya melihat Islam ada di sana. Sedangkan di negeri-negeri muslim, saya banyak melihat di mana-mana ada orang Islam, tapi saya tidak melihat Islam ada di sana.”
Ngarti kagak, Bro?Begini maksudnya …Tulisan yang bliao liat di restoran tadi seenggak-enggaknya ngegambarin kenyataan perilaku orang-orang Eropa (meskipun kagak semua) dalam kehidupan keduniaan (contohnya makan). Isi tulisan itu mirip banget maknanya sama hadits Rasulullah : “Jika kamu makan, sisakan sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk bernafas.” Berarti orang-orang Barat Islami dalam hal kebiasaan en keduniaannya khan? Meskipun mereka tidak Islami dalam hal keimanan en keakhiratannya. Mereka kagak shalat, kagak percaya ama Allah en Rasulullah, kagak ngedalamin al Quran. Tapi, mereka sangat menjaga kebersihan, kedisiplinan, etos kerja juga tinggi, mereka juga nguasain yang namanya ilmu pengetahuan en teknologi. Kebalikannya ama kita orang Islam. Kita Islami dalam hal keakhiratannya, tapi tidak Islami (ato kurang kali yee..) dalam hal keduniaannya. Tul gak?
Coba perhatiin deh, Bro&Sis… Islam tuh ngajarin kita buat disiplin, kerja keras, nyari ilmu sebanyak-banyaknya, semangat yang tinggi, tak mudah putus asa, rajin, dll. Tapi gimana kenyataannya kita orang Islam? Gimana hayo? Yaahh, kalo mau jujur sich, iya berkebalikan. Kita tuh ga disiplin (telatan, bukan teladan). Kita gampang nyerah, lemes, males, kurang pinter (nggak nguasain ilmu pengetahuan en teknologi). Mungkin kita juga suka nyontek kalo pas lagi ulangan (hayo ngaku!). Bahkan nih, katanya Indonesia termasuk negeri yang sarat ama korupsi (padahal Islam ngelarang banget tuh korupsi) dengan ranking atas sedunia.
Pernah juga sastrawan kita Taufiq Isma’il ngelakuin penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia. Yang diteliti tuh berapa jumlah buku sastra yang dibaca habis ama anak SMA selama setaon. Di Singapura, buku sastra yang habis dibaca ama anak SMA dalam setaon rata-rata berjumlah 6 buah. Brunai Darussalam 7 buah. Thailand 5 buah. Jepang 15 buah. Kanada 13 buah. Perancis 20 buah. Belanda 30 buah. Amerika Serikat 32 buah. Coba tebak dech, angka berapa untuk Indonesia? Ternyata, enol (O), Sodara-sodara! Masya Allah. Ini buku sastra, gimana buku-buku tentang Islam ama IPTEK? Jangankan baca, kepikiran aja kagak kali yak!? Wuuiiihh…
Nah, ini yang namanya Paradox (berkebalikan) itu. Islam itu ibarat langit, sedangkan orang Islam ibarat sumur (lebih dalem dari bumi khan?). Jauh banget langit ama sumur. Mangkanye nih, yang banyak muslim KTP-an. Padahal Islam itu tuh warisan agung dari Rasulullah buat kita-kita pada. Masa’ sich yang namanya warisan kita kagak mau? Warisan koq dibuang-buang en disia-siain. Pantes aja dech kalo warisan itu (Islam) “direbut” ama orang-orang yang bukan Islam, termasuk IPTEK-nya. Kita “ambil” lagi yux warisan (Islam) kita. Gimana caranya? Kita kudu merubah diri kita menjadi muslim yang sejati (ceilleee…). Solusinya ya ngaji (nyari ilmu en ngebina kepribadian). Itu aja dulu dilakuin. Kita yang “sumur” ini kudu menggapai Islam yang “langit”. OK, Bro? SEMANGAT! (a2i)

ISLAM : AGAMA DAN PERADABAN MASA DEPAN

by aulia agus iswar
“Ummat Islam akan melalui lima fase masa : masa nubuwwah, masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, masa mulkan ‘adhon, masa mulkan jabbariyyan, dan masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.” Begitulah sabda Rasulullah SAW. Masa nubuwwah telah berlalu dengan wafatnya Rasulullah. Masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah juga telah berlalu dengan selesainya masa khalifah rasyidah. Masa mulkan ‘adhon pun juga telah berlalu dengan tiga imperium Islam : Umayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyyah (Ottoman). Setelah runtuhnya Ottoman Empire di Turki (1924) hingga sekarang, umat Islam berada pada masa mulkan jabbariyyan (pemimpin yang semena-mena, penindas, zhalim). Pada masa ini, umat Islam menjalani kehidupannya tanpa eksistensi khilafah (world empire). Karakteristik pada masa ini adalah umat Islam menjadi umat yang tertindas, terjajah, termarjinalkan, terbelakang dan menjadi second class society. Setelah melalui masa ini, umat Islam akan memasuki masa terakhir, yaitu kembali seperti fase masa kedua : khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Umat Islam akan memiliki world empire yang diatur oleh sistem (manhaj, qanun, syari’ah, perundang-undangan) Islam.

Selintas Perjalanan Historis
Da’wah, yang dilakukan oleh Rasulullah selama sekitar 22 tahun 2 bulan 22 hari, telah membuka cakrawala dan cahaya baru bagi masyarakat di Jazirah Arabia, yang menurut Thomas Carlyle dalam Heroes and Hero-Worship (1840), seperti baru terlahir dari kegelapan menuju cahaya. Dimulai dengan impian Rasulullah tentang World Empire yang diatur oleh Islam, seperti dikatakan Joseph Gaer dalam How the Great Religions Began (1962), maka da’wah terus menyebar ke segenap penjuru dunia ; benua Asia, Afrika, Eropa, bahkan Amerika; meliputi Barat dan Timur. Da’wah itupun sampai ke bumi nusantara ini. Islam yang dibawa oleh da’wah itu telah mewarnai bumi nusantara yang sebelumnya berada dalam masa kegelapan : dari hidup di bawah naungan jahiliyyah ke hidup di bawah naungan cahaya Al Quran. Sebelumnya nusantara didominasi oleh agama animisme dan dinamisme, termasuk juga Hindu dan Budha. Tapi ketika da’wah Islam ini sampai ke bumi nusantara, maka Islam pun mendominasi keyakinan masyarakatnya. Kemudian ummat Islam di Indonesia menjadi single majority.

Unsur dan Karakteristik Ajaran Islam
Islam terdiri dari unsur tsawabbit (yang tetap/ qath’i) dan mutaghayyirat (yang dapat berubah-ubah/zhanni). Unsur tsawabit mencakup ushul (ajaran pokok/prinsip), sedangkan unsur mutaghayyirat mencakup furu’ (ajaran cabang). Ajaran ushul haruslah tetap, baku dan tidak boleh diubah-ubah sampai kapan pun (tidak ada fleksibelitas di dalamnya). Sedangkan ajaran furu’ dapat disesuaikan dengan waktu, tempat, situasi dan kondisi (ada fleksibelitas di dalamnya). Di sinilah sifat kemoderatan Islam : perpaduan antara keteguhan prinsip dan fleksibelitas. Islam bukan agama yang kaku dalam artian tidak ada fleksibelitas dalam hal ushul sekaligus furu’. Islam juga bukan agama liberal dalam artian memberlakukan fleksibelitas dalam hal ushul dan furu’ sekaligus. Dan inilah Islam agama pertengahan : tidak kaku dan tidak liberal. Atau dalam istilah lain Islam bukan agama ekstrem (berlebih-lebihan). Universalitas cakupan Islam tidak sempit hanya terpaku pada kredo tapi juga mencakup sistem perekonomian, organisasi sosial, hukum kemasyarakatan, hukum internasional, dll. Karakteristik seperti inilah yang menjadikan Islam mampu berkespansi dan mondial ke segenap penjuru dunia dengan pengadaptasian nilai-nilai Islam sesuai dengan situasi dan kondisi namun tetap menjaga orisinalitas ajarannya.

Berita yang Dijanjikan dan Realitas Kontemporer
Selain tentang lima fase masa di atas, Rasulullah juga telah memberikan sinyalemen masa depan bahwa umat Islam akan kembali menaklukkan bangsa Romawi. Sebelumnya Rasulullah telah memberikan berita bahwa Konstantinopel akan berhasil dikuasai. Berita ini telah terbukti dengan berhasilnya Sultan Muhammad al Fatih II, dan pasukan muslim pada saat itu, menaklukkan Konstantinopel. Ada berita yang belum terealisasikan, yaitu penaklukan bangsa Romawi.
Sinyalemen masa depan tersebut bukanlah hal yang bersifat utopis. Realitas kontemporer dunia sekarang juga menjadi tanda. Dominasi imperium dunia sekarang berada di tangan peradaban Barat (Amerika dan Eropa). Bukti-bukti telah memaparkan bahwa peradaban tersebut telah berada di ambang kehancuran. Peradaban Barat memang maju dari sisi profannya (keduniaan : sains-teknologi, budaya hidup / semangat kerja) tapi mundur pada sisi spiritual-transenden (keakhiratan : aqidah, moral, pendidikan, pemikiran). Peradaban Barat kini tengah mengalami kehausan spiritual setelah sekian lama bergulat dengan kegersangan materialisme. Banyak masyarakat Barat yang “kembali” kepada nilai-nilai spiritual. Jumlah pertumbuhan umat Islam di Barat pun dapat dikatakan cukup pesat. Apalagi, seperti diungkapkan Zainal bidin Ahmad dalam Sejarah Islam dan Umatnya (1979), setelah diadakannya Festival Dunia Islam pertama di London pada tahun 1976, Islam menjadi agama nomor kedua popularitasnya di Eropa, setelah Kristen. Mulailah berdiri masjid-masjid dan Islamic center-Islamic center. Bahkan di kota Roma, yang dianggap suci oleh umat Katholik, telah berdiri masjid yang megah di samping Kathedralnya.
Di Amerika, menurut James Patterson dan Peter Kim (1991), sebagian besar orang Kristen di sana telah mengemukakan bahwa mereka bersedia menentang ajaran agamanya (Kristen). Maka tak heranlah apabila dikatakan Amerika berada di ambang kehancuran dengan kebobrokannya di bidang politik (ketergantungan dari negara yang lain), ekonomi (paling besar hutangnya di dunia kepada PBB), pendidikan (terdapat 55 ilmuwan dari setiap 1000 orang , terdapat sekitar 27 juta orang buta huruf) dan sosial (kriminalitas yang tinggi).
Data statistik di Inggris menyebutkan pada tahun 2004 jumlah umat Kristen yang ke gereja tiap pekannya adalah sekitar 916.000 jiwa. Sedangkan umat Islam yang ke masjid tiap pekannya adalah 930.000 jiwa (sumber : http://www.eramuslim.com/). Data statistik lain, seperti yang dikutip Samuel P. Huntington dalam Clash of Civilizations (1996), menyebutkan Perkiraan Wilayah Teritorial dalam Persentase antara Barat dan Islam dengan luas wilayah dunia sekitar 52.5 juta mil. Wilayah Teritorial Barat 38.7% tahun 1900 menjadi 24.2% pada tahun 1993. Sedangkan wilayah teritorial Islam adalah 6.8% tahun 1900 menjadi 21.1% pada tahun 1993. Populasi Barat pada tahun 1993 adalah 805.4 juta. Sedangkan populasi Islam adalah 927.6 juta pada tahun yang sama. Kemudian persentase penduduk dunia di bawah kontrol politis Barat adalah 44.3% (tahun1900) menjadi 13.1% (tahun 1995). Sedangkan Islam adalah 4.2% (tahun 1900) menjadi 15.9% (tahun 1995).
Sebetulnya, jika kita runut sejarah, maka kita temukan dominasi kontrol politis imperium dunia seolah saling bergiliran antara peradaban yang satu dengan yang lainnya. Setidaknya telah ada empat fase pergiliran :
a. Pada fase menjelang dan awal abad masehi (…s.d. abad 6 M) yang mendominasi adalah peradaban Yunani (Barat) dengan spirit filsafatnya.
b. Pada fase kedua (abad VII s.d. abad XV), dominasi itu berpindah ke peradaban Islam (Timur dan sebagian Barat) dengan integralitas antara agama dan ilmu pengetahuan. Sementara itu di dunia Barat yang lain terjadi periodesasi kegelapan, yang biasa disebut dengan “the dark age”.
c. Fase ketiga (abad XVI s.d. abad XX), dominasi itu berpindah kembali ke dunia Barat. Fase ini disebut dengan zaman modern atau masa industri. Fase ini ditandai dengan peristiwa-peristiwa besar seperti Renaisans, Reformasi, Revolusi Perancis, Revolusi Industri dan Aufklarung.
d. Fase keempat (mulai abad XXI) disebut dengan masa postmodern atau post-industrial age. Fase ini adalah fase di mana filsafat, ilmu pengetahuan dan agama kembali diintegrasikan, bukan didikotomisasikan (disekularisasikan).



Harapan Masa Depan : Kajian Dialog Pemikiran
Banyak penulis futuris yang memprediksikan tentang masa depan peradaban dunia, khususnya Islam. Di antara mereka ada yang menggambarkan sebuah alternatif baru bagi masyarakat dunia. Di antara mereka ada yang menyebutkan secara langsung tentang Islam namun ada juga yang secara tidak langsung, hanya ciri-cirinya saja. Pemikiran-pemikiran mereka sangat mempengaruhi dinamika pergolakan dunia.
Penulis ungkapkan tentang fungsi dan posisi umat Islam sebagai umat pertengahan (wasathiyyah) yang menjadi moderator (saksi/wasit/arbriter) bagi umat manusia. Di sini dapat dikatakan bahwa umat Islam adalah umat penengah atau umat “ketiga”. Terminologi “ketiga”, dalam konteks ini, dapat kita temui pada spirit pemikiran-pemikiran Anthony Giddens, Edward J. Bying, Roger Garaudy bahkan Alvin Toffler.
Anthony Giddens dalam The Third Way menggambarkan suatu alternatif “jalan ketiga” bagi masyarakat dunia masa kini dan masa depan. Jalan pertama dan jalan kedua adalah manifesatsi dari peradaban kiri dan kanan. Kiri di sini adalah ideologi sosialisme-komunisme. Sedangkan kanan adalah ideologi liberalisme (demokrasi dan kapitalisme). Di Barat, kedua peradaban tersebut tidak mampu menjawab tantangan permasalahan dunia. Karena itulah Giddens, yang merupakan penasihat Tony Blair, merumuskan alternatif “jalan ketiga” yang disebut dengan “center-left”. Nilai-nilai “jalan ketiga” tersebut : persamaan, perlindungan atas mereka yang lemah, kebebasan sebagai otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme kosmopolitan, dan konservatisme filosofis. Nilai-nilai ini secara integral tidak terdapat dalam ideologi manapun di dunia ini. Secara utuh, nilai-nilai ini hanya ada dalam Islam. Hal tersebut akan semakin tampak dalam program-program “jalan ketiga” : pusat yang radikal, negara demokratis baru, masyarakat madani yang aktif, keluarga demokratis, ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi, kesejahteraan positif, negara berinvestasi sosial, bangsa kosmopolitan, dan demokrasi kosmopolitan.
Edward J. Bying dalam De Derde Macht / Kekuatan Ketiga (1956) juga menggambarkan tentang kompetisi dua kekuatan, yaitu kekuatan demokrasi-kapitalis dan diktator-komunis. Tampil di antara mereka suatu kekuatan ketiga yaitu kekuatan Islam. Penulis juga mengingatkan tentang Gerakan Non-Blok. Presiden Aljazair Boumediene menganjurkan tentang terbentuknya “Dunia Ketiga”. Menurut penulis, “Dunia Ketiga” itu adalah Gerakan Non-Blok yang merupakan “Blok Ketiga” setelah kedua Blok sebelumnya (Blok Barat dan Blok Timur).
Roger Garaudy dalam Promeses de’l Islam (1981) menganggap Islam adalah “Warisan Ketiga” bagi Barat, bahkan seluruh dunia, setelah dua warisan sebelumnya : warisan Yunani dan warisan Judeo-Christian. Barat mengakui bahwa peradabannya adalah sebagai warisan ganda, yakni warisan Yunani-Romawi dan warisan Judeo-Christian. Bahkan dapat dikatakan bahwa Barat tidak memiliki dimensi agama dan kebudayaan yang asli. Agama Judeo-Christian berasal dari Timur (Asia). Warisan Yunani-Romawi pun sangat dipengaruhi oleh peradaban Timur sebelumnya.
Alvin Toffler, dalam The Third Wave, berpandangan bahwa hingga kini kehidupan masyarakat dunia telah melalui tiga gelombang. Gelombang Pertama adalah Agricultural Revolution. Gelombang Kedua adalah Industrial Revolution. Sedangkan Gelombang Ketiga adalah Post / Super-Industrial Revolution. Masa industri adalah masa di mana manusia diperlakukan sebagai mesin. Pada masa ini, yang disebut juga dengan zaman modern, ada pergeseran paradigma dari theosentris ke anthroposentris. Anthroposentirs memandang manusia sebagai makhluk yang dapat berbuat untuk dirinya sendiri. Dapat dikatakan di sini bahwa manusia hanyalah makhluk secara materi. Sedangkan masa super-industrial revolution, disebut juga zaman post-modern, nilai-nilai theosentris-religius-transendental mulai bergema kembali. Dengan kata lain, Gelombang Ketiga adalah masa kembali kepada seruan agama-agama.
Tokoh lain yang mensinyalir dan memberikan alternatif religius-spiritual bagi masa dan zaman sekarang adalah John Naisbitt. Dalam Megatrends dan High Tech-High Touch, Naisbitt mengemukakan penadapatnya bahwa kini ada pergeseran dari High Tech ke High Touch, yaitu dari teknologi yang tinggi ke sentuhan (spiritual dan emosional) yang tinggi.
Di sisi lain, ada yang menarik dari perkembangan ilmu psikologi, meskipun baru dikatakan psikologi-popular, yaitu tentang Stephen R. Covey penulis buku motivasi The Seven Habits of Highly Effective People. Baru-baru ini ia menulis buku baru dengan judul The 8th Habit. Dalam bukunya yang baru tersebut ia menyebutkan kebiasaan kedelapan menitikberatkan pada hati nurani. Ia juga menggambarkan tentang empat potensi dalam diri manusia : emosional, spiritual, intelektual dan fisikal. Manusia masa depan adalah manusia yang mampu menyeimbangkan empat potensi ini dalam dirinya. Hal ini sangat sesuai dengan Islam. Selain Covey, banyak juga penulis-penulis lain yang membuat buku-buku motivasi yang berkaitan dengan emotional quotion (EQ), spiritual quotion (SQ), bagaimana bergaul, bagaimana mencapai kebahagiaan, bagaimana mengatasi kesulitan hidup, dan lain-lain. Sebut saja seperti Dale Carnegie, Noorman Vincent Peale, Florance Litaeurer, Anthony Robbins, dll. Buku-buku tersebut bermunculan di abad XX. Sehingga dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan respons terhadap kegersangan materialisme pada masa industri / zaman modern.
Pandangan lain datang dari Wilfred Scawen Blunt yang mengatakan bahwa sekurang-kurangnya ada empat faktor yang menguasai dan mempersatukan umat Islam. Dalam The Future of Islam, ia menyebutkan empat faktor itu :
1. The Haj (pilgrimage).
2. Khilafah (the modern question of the Caliphate).
3. TheHolly Mecca (the true metropolis)
4. Reformation (A Mohammedan reformation).
Samuel P. Huntington juga mensinyalir tentang Kebangkitan Islam. Kebangkitan di sini jauh lebih luas daripada reformasi. Perkembangan Islam kini terus bergerak dan melebar. Bermula dari aspek sosio-kultural kemudian ke aspek politik. Manifestasi-manifestasi ini pada umumnya tidak mendapatkan dukungan dari kalangan elit pedesaan, kaum tani dan “golongan tua”. Mereka adalah masyarakat non-urban yang berorientasi modern. Mereka adalah kalangan muda yang berusia sekitar 20 dan 30 tahun. Delapan puluh presen dari mereka adalah lulusan universitas atau perguruan tinggi.
Ternyata sinyalemen kemenangan Islam itu tidak hanya berasal dari nash saja, tapi juga dapat kita cermati dari relaitas kontemporer yang ada dan juga berasal dari pandangan dan prediksi para pakar. Siapkah umat Islam menyambutnya?

Geospirit : Menyatukan Kepingan Puzzle
Barat (Amerika dan Eropa), yang kini masih didominasi Kristian, menampakkan keunggulan spirit Islaminya dalam segi profan (keduniaan) seperti kedisplinan, etos kerja, kebersihan, penguasaan atas sains dan teknologi, sadar lingkungan, dan lain-lain. Sedangkan Timur, yang dominasi Islam ada di dalamnya, menampakkan keunggulan spirit Islaminya dalam segi spiritualitas dan sakralitas (keakhiratan) seperti aqidah, keimanan, ibadah mahdhah, akhlaq, dan lain-lain. Dapat dikatakan, hingga kini, spirit Barat adalah spirit keduniaan sedangkan spirit Timur adalah spirit keakhiratan.
Islam adalah agama dunia dan akhirat sekaligus. Islam bukan agama dunia saja atau agama akhirat saja. Pada saatnya nanti kepingan Timur (yang telah terislamkan) akan bersatu dengan kepingan Barat (yang juga telah terislamkan). Hingga Islam menjadi Al Ustadziyatul Alam. --Wa Allahu Musta’an--.

GAGASAN INTELEKTUALITAS ISLAM DAN GERAK LAJU PERADABAN

by aulia agus iswar
Iqra! Bacalah! Pada awalnya, Allah memerintahkan kepada kita untuk membaca , sebelum shalat, shaum, zakat, haji atau jihad. Makna membaca di sini sangat luas. Quraisy Shihab menafsirkannya sebagai “menghimpun makna”. Bukan sekedar buku, tapi membaca alam (afaq) dan diri manusia (anfus) itu sendiri (Q.S. Fushshilat : 53). Dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Dr. Muh. Iqbal, afaq dan anfus telah dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Inilah karakter Islam yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Hal ini pulalah yang menjiwai da’wah Islam, khususnya setelah Rasulullah wafat.
Inklusifitas dan eksklusifitas Islam mengimplementasikan curiousity (keingintahuan) umat Islam pada masa itu untuk menggali intelektualitas (termasuk filsafat) peradaban Yunani. Pengetahuan-pengetahuan tersebut diadaptasi, direkonstruksi dan dikembangkan dengan prinsip-prinsip Islam.
Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam, adaptasi dan rekonstruksi ini mencakup Klasifikasi Ilmu, Kosmologi, Kosmografi, Geografi, Sejarah Alam, Fisika, Matematika, Astronomi, Kedokteran, Ilmu Manusia/Sosial-Humaniora (Sejarah, Anthropologi, Sosiologi, Psikologi), Kimia, dan Filsafat. Para intelektual muslim yang ensiklopedis (menguasai berbagai disiplin ilmu) bermunculan : Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Hayyan, Al Khawarizmi, Al Battani, Abul Qasim, Al Kindi, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, dsb. Prosesi dan rekonstruksi peradaban Islam ini terjadi pada rentang masa abad VII s.d. abad XV. Seiring dengan peradaban Yunani (Barat) berada pada masa kegelapan (the dark age). Islam memiliki sekaligus mengatur World Empire dan menghegemoni dunia.
Perlu kita perhatikan bahwa pada masa Peradaban Yunani, pengetahuan menggunakan metode “arm-chair”, bukan metode empiris. Hal ini juga diakui oleh Andre Bonnard dalam Civilization Grecque bahwa mulanya sains Yunani hanyalah merupakan teori, abstraksi, spekulasi dan hitung. Peradaban Islam coba menggagas metode empiris (eksperimen-eksperimen) dalam tradisi ilmiahnya. Maka, Islam mampu melahirkan bukan hanya sekedar teori tetapi juga alat (teknologi), yang berarti juga solusi konkret bagi kehidupan.
Itu adalah masa lalu. Sejak abad XVI hingga sekarang, ditambah runtuhnya Ottoman Empire, umat Islam berada pada keterpurukan, termasuk di bidang ilmu pengetahuan (intelektualitas). Hegemoni dunia kembali digenggam oleh Barat setelah Renaisans. Namun, jika kita telaah lebih dalam, hegemoni peradaban Barat, sejak awal renaisans, sangatlah rapuh. Banyak orang yang mengatakan bahwa Barat mengalami kemajuan intelektualitas yang sangat pesat. Realitas berbicara bahwa, menurut Muhammad Quthb, Barat maju karena mendikotomisasikan antara intelektualitas dengan agama. Sedangkan Islam justeru akan maju ketika agama itu tidak dikotomisasikan dari intelektualitas. Di sinilah kerapuhan Barat itu; kemajuan intelektual tidak disertai dengan kemajuan agama. Kita saksikan keterpurukan moral yang melanda. Inikah kemajuan itu!? Dengan realitas seperti ini, maka masyarakat Barat dan para pengikutnya akan menggunakan kemajuan intelektualitas tanpa mengindahkan norma-norma agama. Hal ini hanya akan menghancurkan peradaban mereka sendiri.
Agama bagi Barat hanya mencakup urusan akhirat. Urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada intelektualitas, bahkan banyak juga yang menjadikan intelektualitas sebagai agama. Urusan politik, ekonomi dan aspek lainnya diserahkan kepada apa yang dinamakan dengan liberalisme dan kapitalisme. Barat kini berada pada ambang pintu kehancuran.
Liberalisme Barat dan Sosialisme Timur sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman. Anthony Giddens merumuskan alternatif bagi dunia dengan “Jalan Ketiga” (the Third Way). Jalan ketiga ini, menurut penulis, adalah Islam. Geliat kebangkitan Islam selama ini telah terlihat. Ini juga dikuatkan oleh Roger Garaudy dalam Promesses de l’Islam yang berpendapat bahwa Islam adalah “Warisan Ketiga” bagi Barat, bahkan seluruh dunia, setelah dua warisan sebelumnya : warisan Yunani dan warisan Judeo-Christian.
Namun, apakah umat Islam telah siap untuk menghadapinya? Kita telaah sebab-sebab kemunduran Islam sejak abad XV. Dikatakan bahwa Islam akan maju ketika ada perpaduan antara agama dengan intelektualitas. Larena mundur ,berarti kini umat Islam telah mendokotomisasikan antara agama dengan intelektualitas (sekularisasi). Semenjak “perseteruan” antara Al Ghazali (Tahafut al Falasifah/Destruction of the Philosophers) dengan Ibnu Rusyd (Tahafut at Tahafut/Destruction of Destructor), akar sekularisasi itu muncul. Sesungguhnya, Al Ghazali hanya menolak filsafat metafisika, tidak semua filsafat ditolak olehnya. Namun, yang terjadi pada umat Islam pada masa itu adalah kesalahpersepsian dengan menggeneralisasi bahwa semua filsafat terlarang. Padahal sistematika filsafat itu sangat luas : metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, dan filsafat imu pengetahuan (sains, politik, sejarah, sosial, ekonomi, dsb.). Yang terlarang hanyalah metafisika, sedangkan yang lainnya kita membutuhkannya. Salah satu karakter filsafat adalah berpikir secara kritis, sistematis, dinamis dan integral/holistik. Wajar jika umat Islam mengalami kemunduran karena tidak berpikir kritis, tidak sistematis, statis dan parsial. Yang ada kemudian adalah madzhab-madzhab yang melahirkan fanatisme yang kemudian juga melahirkan kejumudan intelektual. Intelektualitas Islam pun kini juga terparsialisasi (terkotak-kotak antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain), tidak ada inovasi-inovasi dan tidak ada dinamisasi-dinamisasi.
Untuk itu, meskipun intelektual-intelektual muslim modern seperti Isma’il Raja Faruqi dan Ziaudin Sardar telah memulai, kita harus kembali merekronstruksi dan merekayasa intelektualitas kita. Blue print-blue print peradaban dan intelektualitas Islam perlu kembali digagas. Kita persiapkan diri kita. Islam adalah Jalan Ketiga dan Warisan Ketiga. Masa depan peradaban dunia adalah milik Islam. Wa Allahu Musta’an.

























CINTA SANG IBU

by aulia agus iswar
Dikisahkan… Seorang ibu sedang duduk-duduk di rumahnya. Ia seperti merenung dan memperhatikan tangannya yang terlihat sangat buruk dan jelek. Tak lama, dipanggilnyalah anak perempuannya. “Nak, kemarilah sebentar.” Pintanya. “Iya, Ibu.” Jawab si anak sambil mendekat dan duduk berdekatan di hadapan sang ibu. Dipandanginya sang ibu beberapa saat lamanya. “Ibu ingin bercerita tentang tangan ibu yang buruk dan jelek ini..” kata sang ibu.
“Dahulu, ketika kamu masih bayi, ibu bekerja sebagai tukang cuci baju. Suatu hari ibu mencuci baju di rumah orang. Lalu ibu pulang ke rumah. Ibu terkejut ketika ternyata rumah kita telah dilalap api. Ibu panik. Ibu segera teringat kamu yang waktu itu tertidur dan ibu tinggal bekerja. Hanya itu yang ibu ingat. Dan segera ibu menyelinap masuk ke rumah, padahal api sudah membesar. Tapi ibu tidak memikirkannya. Kucari-cari dirimu. Tidak sulit menemukanmu, karena terdengar kamu menangis di tengah amuk api. Ibu pun berhasil menggendongmu. Tapi ketika akan keluar, sebuah tiang kayu yang terbakar rubuh dan menimpa tangan ibu sampai terjatuh. Runtuhnya tiang kayu itulah yang menyebabkan tangan ibu buruk dan jelek seperti sekarang ini…” cerita sang ibu sambil mengenang peristiwa belasan tahun silam itu.
Tak lama, sang anak memegang, memeluk dan diciuminya tangan sang ibu yang buruk itu. “Kini aku tahu betapa perkasa dan mulianya tangan ibu ini. Aku semakin sayang sama ibu, sayang sama tangan ibu.” Kata sang anak lirih, bergetar, dengan linangan air mata…

Pren, kisah di atas ngingetin kita tentang kasih sayang en pengorbanan seorang ibu. Kita juga bisa ngeliat tentang betapa perkasanya seorang ibu buat nyelamatin anaknya. Seorang ibu bakal berbuat apa aja (asal tidak melanggar aturan Allah) agar anaknya bisa tetep hidup. Berarti bener ya bunyi satu ungkapan “Kasih ibu sepanjang masa”.
Tapi, Pren. Kalo di Barat ada orang tua (ga semua tapi) yang sampe ngomong gini : “Ketika aku mati nanti, anjing kesayanganku inilah yang akan peduli padaku, anak-anakku hanya akan meributkan warisanku.” Koq ada ya orang tua yang sampe ngomong kayak gitu, tanya ken-napa?
Itu kalo di Barat. Kalo di sini, kita mungkin pernah beberapa kali denger di berita-berita ada anak yang tega ngebunuh ibunya sendiri ato sampe memperkosa ibunya (Na’udzubillahi mindzalik, la’nat Allah atas orang-orang kayak gini!).
Itulah, Pren realitas yang terjadi. Itu yang sering kita denger, trus kalo kita gimana? Mungkin kita kagak sekejam contoh-contoh tadi. Tapi coba dech dipikir en direnungin. Kita nih emang Diciptain ama Allah. Tapi emangnya kita langsung diturunin dari langit? Kagak khan? Kita Diciptain Allah lewat rahim ibu kita khan? Bukan rahim ibu orang lain khan (ya iyalah!)? Apalagi rahim seekor binatang (yaa kalo dari rahim binatang maah kita hewan donk, Boy? Gimana sich!)… Dah gitu, kita juga “digedein” (dikasih makan-minum en pendidikan, ibaratnye dikasih “milk” en “honey”) sampe kita kayak gini sekarang (emang kayak gimana?).
Tapi, Pren. Apa yang udah kita kasih ke ibu kita? “Milk” en “honey”? Boro-boro kayak gitu, kita malah sering nyakitin ibu kita. Berapa kali ibu marah, sakit en nangis gara-gara tingkah laku kita? Gara-gara kita bandel en nakal. Gara-gara kita males belajar en beribadah. Maeeen mulu! Kapan juga kita ngebantuin ibu kita? Kalo dah kayak gini, begimane kita mau ngebalas jasa-jasa ibu? Pren, biasanya nih gimana sikap kita ke ibu kita sekarang, begitulah sikap anak kita ke kita nanti! (a2i)

KETIKA SANG KHALIFAH ITU TELAH PERGI…

by aulia agus iswar
Seorang insan terbaik pernah terlahir ke dunia ini. Pada usianya yang ke-40 tahun, ia bersama dengan para shahabatnya berjuang secara total untuk membangun pondasi sebuah peradaban; hingga hampir 23 tahun lamanya. Telah sempurnalah apa yang ia bawa kepada umat manusia. Telah cukuplah dua harta (Al Quran dan as Sunnah) itu terwariskan. Telah selesailah pembangunan pondasi sebuah peradaban itu. “Hari ini, telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan untukmu nikmatKu. Dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagimu.”(QS Al Maidah : 3) Usianya beranjak ke-63 tahun saat itu. Hingga tibalah masanya, ketika ia menghembuskan nafasnya yang terakhir; tepat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 11 H. Menangislah para shahabatnya. Sendu. Dunia pun seolah-olah merasakan kesedihannya…
Insan itu, Rasulullah SAW, telah meninggalkan umatnya; meninggalkan dunia ini.. Meskipun ia belum sempat menyaksikan hasil perjuangannya sekarang ini. Namun, ia akan tetap diingat sampai menjelang Hari Akhir (the Last Day) nanti. Setiap hari umatnya menyebut-nyebut namanya, mendoakannya, memujinya, membacakan shalawat untuknya, mengharap syafa’atnya… Bergelora. Para pewarisnya pun akan senantiasa menyalakan bara perjuangannya di dada-dada mereka. Rindu. Umat senantiasa merindukan kehadirannya; berharap dapat berdampingan dengannya di surga nanti… Namun sadarilah, Rasulullah tidak pernah meninggalkan kita. Ia senantiasa hadir di setiap lorong peradaban. Ia menyapa umatnya dan memberikan ruh penyemangat perjuangan, meskipun beliau ada di “alam sana”
Kurang dari satu abad setelah wafatnya, manuver untuk memperjuangkan Al Islam terus digencarkan. Islam memasuki masa-masa ekspansinya. Suatu wilayah menjadi target umat Islam : Semenanjung Iberia (Andalusy; sekarang mencakup Spanyol, Portugis, Perancis). Saat itu Islam berada di bawah naungan kekhilafahan Banu Umayyah. Umat Islam ingin menda’wahkan Islam ke Andalusy, melanjutkan pendaratan umat Islam pada masa Khalifah Utsman ibnu Affan sebelumnya. Lalu, diutuslah Thariq ibnu Ziyad untuk mengomandoi pasukan Islam ke daratan Eropa itu. Menjelang saat-saat berjumpa dengan pasukan Kristen Andalusy, Thariq tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia melihat Rasulullah beserta orang-orang Muhajirin dan Anshar dengan membawa pedang-pedang. Ia mendengar Rasulullah berkata : “Janganlah gentar, wahai Thariq! Sempurnakan apa yang ditakdirkan bagimu untuk melakukannya.” Ia melihat Rasulullah serta shahabat memasuki Andalusy. Setelah terbangun, ia memberitahukan tentang mimpinya kepada para tentara muslim. Ia menjadi lebih yakin dan kuat terhadap firasat akan datangnya kemenangan. Benar, tahun itu 711 M, 12.000 tentara Islam pimpinannya memenangkan pertempuran melawan Roderrick beserta 100.000 tentara Kristen Andalusy. Takluklah Andalusy; masuklah Islam ke belahan barat Eropa…
Kita lihat saat-saat pasca Perang Salib yang pertama. Umat Islam pada saat itu benar-benar terpuruk dari sisi ukhrawinya (meskipun tidak demikian dengan keduniaannya). Umat sibuk dengan urusan internal; perselisihan dan perpecahan. Sultan Shalahudin al Ayyubi tampil dan mempelopori Peringatan Maulid Nabi dengan diadakannya kompetisi penulisan sirah Rasul dalam bentuk sastra, tepat pada tahun 1185 M. Dan menanglah Barzanji dalam kompetisi itu. Peringatan Maulid Nabi ini mampu mengingatkan umat Islam akan sosok seorang Rasulullah; membangkitkan ruh umat Islam kembali, mempersatukan mereka dan menggelorakan semangat jihad yang sebelumnya secara umum telah pudar dan luntur. Dan berhasillah al Ayyubi “menghadirkan” Rasulullah ke tengah-tengah umat Islam pada saat itu. Tiga tahun setelahnya, tepatnya 2 Oktober 1187, Yerusalem (Palestina) berhasil direbut kembali (bertepatan dengan 27 Rajab). Bagaimana dengan yang sekarang?
Kemudian kita juga saksikan Sultan Muhammad al Fatih ketika bersama-sama pasukannya sedang berjuang untuk menaklukkan Konstantinopel. Ia senantiasa menyemangati pasukannya di depan mereka. Ia selalu mengobarkan semangat dan menjelaskan bahwa dengan terbukanya kota Konstantinopel, berarti mereka akan mendapat kemuliaan Allah serta pahala yang berlimpah. Rasulullah bersabda : “Konstantinopel akan ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya.”(HR Ahmad). Al Fatih berkata : “Jika penaklukan ini sukses, maka sabda Rasulullah telah menjadi kenyataan dan kita akan mendapatkan kemuliaan dan penghargaan.” Bersemangat dan bergeloralah pasukan Islam itu. Dan takluklah Konstantinopel; takluklah belahan timur Eropa. Dengan demikian, berhasillah Al Fatih “menghadirkan” Rasulullah di tengah-tengah tentaranya…
Itulah, Rasulullah akan senantiasa hadir di tengah-tengah kita. Tapi, bagaimana seandainya Rasulullah sekarang benar-benar hadir di hadapan kita semua? Menyaksikan kondisi umatnya, kita semua, seperti sekarang ini. Menyaksikan Al Aqsha yang ternodai oleh kezhaliman dan kebathilan. Menyaksikan betapa umatnya telah menjauhi apa yang beliau wariskan untuk mereka, yaitu Al Islam. Apa yang akan terjadi? Tersenyum bahagiakah beliau? Atau malah menangis sedih? Kita tidak tahu. Tapi yang pasti, beliau akan menyemangati kita bahwa perjuangan sama sekali belum berhenti. Beliau akan mengingatkan dan mengulangi janjinya bahwa Romawi juga akan terbebaskan untuk kita! Suatu saat nanti… Maka, persiapkanlah! Inna Allaha Ma’ana..

SANG GURU

by aulia agus iswar
Betapa besar jasa dan pengorbanan seorang guru bagi para manusia. Bahkan seorang guru bisa menjadi orang tua ketiga setelah kedua orang tuanya. Seorang guru yang sejati akan benar-benar menjadi seorang pendidik dan pembimbing. Sang guru, adalah seorang murabbi yang di dalamnya terkandung unsur peran seorang pemimpin, peran seorang ayah, peran seorang kakak, dan peran seorang sahabat. Dalam peran-peran tersebut, sang guru juga memainkan fungsi sebagai seorang pemelihara, yang memperbaiki, yang mengembangkan, yang merubah ke arah yang lebih baik. Jika hal-hal ini terpenuhi, maka sungguh, seorang guru benar-benar menentukan arah hidup seorang manusia.
Dan kita saksikan, di balik kebesaran para tokoh selama perjalanan sejarah manusia, akan ada peran besar seorang guru, siapa pun guru itu; ayah-ibukah, ulamakah atau siapapun. Dan tentunya, bukan sembarang guru. Makna guru di sini adalah guru yang benar-benar guru, yang benar-benar menunjukkan jalan baginya, yang paling berpengaruh terhadap arah jalan kehidupannya dan yang menjadi contoh teladan baginya. Karena itu, bisa jadi orang yang selama ini kita sematkan identitas guru kepadanya, pada hakikatnya ia bukan guru, karena ia tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi arah dan perjalanan hidup kita; ia hanya simbol. Jadi, poin pentingnya adalah pengaruh yang cukup signifikan!
Seorang guru itu akan melakukan transfer of science dan transfer of value sekaligus; bukan science saja atau value saja. Dalam perjalanan hidupnya, seorang khalifah itu mengenal makna syaikh, ustadz dan juga mulazamah. Mulazamah dapat diartikan sebagai proses pendampingan dan penyertaan seorang murid kepada seseorang yang dianggap gurunya. Ia akan senantiasa mendampingi dan menyertai ke manapun sang guru itu pergi; ia menjadi asistennya. Dalam mulazamah ini, sang murid akan mendapatkan science dan value sekaligus karena ia melihat langsung implementasinya dalam keseharian hidup sang guru.
Ada dua fragmen sebagai perbandingan di sini. Fragmen pertama : ada seseorang yang memiliki tekad baja untuk berguru kepada seorang syaikh di negeri seberang. Dengan segenap usaha yang melelahkan dan pengorbanan yang besar karena jarak yang jauh, akhirnya ia berhasil menemui syaikh tadi. Kemudian diutarakannyalah tekadnya untuk menimba ilmu dari syaikh tadi. Diterimalah ia oleh syaikh dan diizinkanlah ia tinggal bersama syaikh tadi tapi dengan syarat ia harus melaksanakan tugas harian selama 1 tahun untuk membersihkan rumah syaikh tadi dan menyiapkan segala hal teknisnya (menyapu, mengepel, mencuci, dsb). Setelah 1 tahun lamanya, murid tadi merasa belum mendapatkan ilmu dari syaikh tadi. Dan habislah waktunya “menuntut ilmu” dari sang syaikh. Ketika ia akan pulang, ia mengeluh karena belum mendapatkan apa-apa. Syaikh itu menyadarkan bahwa sesungguhnya selama 1 tahun itu beliau telah mengajarkannya satu nilai, yaitu nilai tentang sabar. Di sini, seorang guru hanya melakukan transfer of value. Fragmen kedua : ada seorang mahasiswa yang menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi. Ia mendalami ilmu di sana selama beberapa waktu. Di sini, ia hanya mendapatkan transfer of science. Kasus pada fragmen pertama dan kedua tidaklah dapat merubah kepribadian dan internalisasi secara utuh. Idealnya, sang guru harus memberikan kedua-duanya : science dan value.
Demikian juga dengan para khalifah. Di balik kebesaran dan kegemilangannya, akan ada peran besar seorang guru. Dari sang guru itulah ia memperoleh science sekaligus value. Ia berguru kepadanya, menimba ilmu dan pengalaman darinya, dan menjadikannya sebagai pembimbing hidupnya. Maka kita saksikan.
Pada masa Bani Murabithun (generasi kedua kejayaan Islam di Andalusia setelah sebelumnya mengalami kemunduran pada generasi awalnya), di balik tokoh Yahya ibnu Ibrahim ada seorang guru bernama Abdullah ibnu Yasin. Kemudian pada masa Perang Salib, kita juga akan temukan sosok sang guru di balik kebesaran Shalahuddin al Ayyubi, yaitu syaikh Qadhi al Fadhil. Demikian juga dengan sosok sang guru di balik Muhammad al Fatih penakluk Konstantinopel, yaitu Syaikh Aaq Syamsudin.
Kemudian bagaimana dengan kita? Siapakah sang guru kita? Siapakah yang paling berpengaruh terhadap diri kita? Lalu, renungkan juga, apakah kita sudah layak menjadi sang guru bagi “murid-murid” dan “adik-adik” kita? Sejauh manakah kita menjadi sang guru bagi mereka….? Wa Allahu A’lam bi al Shawabi.

B A H A S A C I N T A

by aulia agus iswar
Dalam perjalanan ke Barat (Journey to the West)-nya, Sun Go Kong (sosok dalam legenda orang China), tiba di suatu desa. Di desa itu ia melewati sebuah sungai yang jernih. Tiba-tiba ia melihat seekor ikan yang seperti akan tenggelam. Ikan itu terlihat seperti kehabisan nafas, menurutnya. Segera dengan sigap ia menolong ikan itu dan membawanya ke darat. Kemudian ditidurkannya ikan itu di atas tanah dengan alas dedaunan. Ada seseorang yang memperhatikan tindakan Sun Go Kong ini. Penasaran, ia bertanya kepada Go Kong. “Kenapa kau bawa ikan itu ke darat?” tanyanya. “Tadi aku lihat ikan ini mau tenggelam, maka aku tolong dia dan aku baringkan dia di sini, supaya tidak tenggelam ke dalam sungai.” Jawab Go Kong.
Ada lagi kisah seorang bangsawan dalam legenda China. Ia, bangsawan itu, sangat menyukai binatang peliharaan, khususnya burung. Ia terbiasa hidup dalam kemewahan. Makan dan minum yang enak dan lezat, semuanya tersedia. Suatu saat, tiba-tiba ia mendapat seekor burung merak yang sangat cantik dan indah. Ia sangat menyukai dan mencintainya. Hari-hari dan waktunya dihabiskan untuk si merak tadi. Hingga suatu saat ia berpikir. Mulai saat itu, ia ingin menjamu si merak tadi dengan makanan-makanan dan minuman-minuman mewah seperti yang ia sering santap. Maka dihidangkanlah makanan dan minuman yang enak dan lezat. Ia berpikir ini pasti akan membuat si merak menjadi senang. Tapi ternyata, si merak tidak ingin memakan hidangan untuk manusia itu. Dipaksalah burung itu untuk makan. Hingga matilah burung itu karenanya. Si bangsawan tadi pun merasa sangat sedih.
Dua kisah di atas jelas hanyalah sebuah legenda. Tapi, ibrah dan hikmah yang dapat kita ambil sangatlah berarti, mengalahkan cerita itu sendiri. Ibrah dan hikmah apa yang bisa kita ambil? Sun Go Kong tentunya sangat berniat baik. Ia dengan tulus ingin menolong seekor ikan yang menurutnya akan tenggelam. Tapi, apakah ada di dunia ini ikan yang akan tenggelam di dalam air? Bukankah air itu adalah habitatnya? Bukankah sungai itu adalah buminya sama seperti kita menganggap bahwa tanah yang kita pijak ini adalah bumi kita? Demikian juga dengan bangsawan tadi. Ia tentu sangat mencintai burung merak miliknya. Ia tentu menginginkan yang terbaik untuknya. Lantas apa yang salah dengan Go Kong dan si bangsawan? Ya, bahasa cinta Go Kong dan si bangsawan tidak sesuai dengan bahasa cinta (kebutuhan) si ikan dan si merak. Go Kong adalah manusia yang bisa tenggelam di air. Ia pun berpikiran bahwa ikan pun bisa tenggelam di air. Justeru sebaliknya, ikan justeru akan “tenggelam” dan mati bila di darat. Si bangsawan mengira bahwa kesenangan bagi manusia adalah kesenangan juga bagi si merak. Ternyata, kesukaan si merak dengan manusia jelas berbeda. Si merak cukup senang dengan makanannya sendiri, tidak perlu makanan manusia yang mewah. Jadi, ada ketidaksesuaian (no matching) bahasa cinta di sini.
Bahasa cinta itu harus menemukan tempatnya, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang dicintainya. Jika seseorang mencintai sesuatu, maka ia akan memberikan yang terbaik bagi yang dicintainya. Makna “terbaik” di sini ia menggunakan perspektifnya sendiri, tanpa melihat “terbaik” dari perspektif sesuatu yang dicintainya. Maka, bahasa cintanya tidak akan menemukan tempatnya. Tapi jika ia memberikan bahasa cintanya dengan yang terbaik sesuai perspektif yang dicintainya itu, maka bahasa cintanya akan menemukan tempatnya. Orang yang haus, diberi minum, jangan malah diberi makanan atau air laut. Orang yang lapar, diberi makanan, jangan malah diberi minum. Orang bodoh yang harus pintar, maka ajarilah.
Kita ambil contoh lain. Sering, ketika pulang dari bepergian dan sesampainya di rumah, ada keluarga yang bertanya kepada kita : “Sudah pulang?” Terkadang kita berpikir, untuk apa menanyakan hal-hal yang sudah jelas jawabannya. Kalau kita sudah sampai rumah, jelas kita sudah pulang. Tunggu dulu. Bisa jadi itu adalah bahasa cintanya kepada kita. Salah satu fungsi komunikasi adalah pernyataan eksistensi diri. Dengan bertanya seperti itu, berarti keluarga kita ingin menunjukkan bahasa cintanya dengan menganggap eksistensi diri kita, kita dianggap ada. Komunikasi untuk menunjukkan bahasa cinta seperti keramahan dan kelembutan ini dinamakan phatic communication.
Sering seseorang merasa marah atas tindakan dan perlakuan orang lain terhadap dirinya. Padahal ia tidak sadar bahwa sesungguhnya itu dilakukan oleh orang yang mencintainya demi kebaikan dirinya. Kita pun harus bisa memahami perilaku orang lain kepada kita, siapa tahu itu adalah bahasa cintanya kepada kita. Demikianlah. Dengan memahami bahasa cinta ini, setidaknya kita bisa mencintai sesuatu dengan tepat. Dan kita juga dapat memahami bahasa cinta orang lain kepada kita atau yang lainnya.
Di antara bahasa-bahasa cinta di dunia ini, ada bahasa cinta yang agung dariNya. Allah tidak mengabulkan do’a dan permohonan hambaNya. Di sini, seolah Allah tidak menampakkan cintaNya kepada para hamba. Tapi sesungguhnya, Allah “mengabulkan” apa yang dibutuhkan oleh seorang hamba itu, meskipun si hamba merasa tidak butuh. Allah memberikan apa yang terbaik bagi hambaNya, bukan berdasarkan apa yang diinginkan oleh seorang hamba. Karena Allah-lah yang Maha Mengetahui apakah sesuatu itu terbaik, baik, buruk, atau terburuk bagi kita. Inilah bahasa cinta Allah kepada hambaNya. Allahummarhamna…

SYURA : PERASAN ATAU PEMERASAN?

by aulia agus iswar
Syura merupakan salah satu esensi ajaran Islam yang menjiwai bangunan Islam itu sendiri. Ini menjadi bukti bahwa konsep Islam menentang diktatorisme. Syura dalam Islam sangat menghargai suara atau pendapat mayoritas. “Syaithan itu bersama satu orang, dan ia akan lebih jauh dari dua orang” (HR Tirmidzy). Tapi, konsep syura dalam Islam tidak bisa disamakan dengan sistem teokrasi, demokrasi, mobokrasi, otokrasi, dll. Konsep Islam secara utuh berdiri sendiri, berbeda dengan sistem-sistem yang lain. Memang, ada yang menganggap sistem demokrasi dan nomokrasi adalah sistem yang paling dekat (bukan sama) dengan Islam. Tapi, sekali lagi, Islam memiliki konsep tersendiri yang kemudian konsep tersebut menjadi kumpulan kebaikan sistem-sistem yang ada di Barat dan Timur. Dan Islam menjadi saksi atas keduanya.
Ajaran Islam terdiri dari qath’I dan zhanni. Ada yang sudah jelas dan tegas nash-nya, ada juga yang fleksibel dan debatable. Syura hanya diperbolehkan terhadap permasalahan-permasalahan yang zhanni dan tidak ada nash-nya secara tegas. Misalnya, beberapa (tidak semua) permasalahan mu’ammalah, da’wah, harakah, jihad, kenegaraan, perekonomian, budaya, dll. Ijtihad, yang merupakan inti dari syura, menemui tempatnya di sini. Sedangkan untuk hal-hal yang qath’I (aqidah dan ibadah) tidak ada syura di dalamnya, yang ada hanyalah sam’an wa tha’atan. Hal ini beda dengan agama Krsiten yang memiliki sidang Konsili rutin untuk “syura” membahas dan menyepakati hal-hal aqidah Kristiani sejak Konsili I tahun 325 M di Nicea.
Realitas syura dalam Islam sangat jelas tergambar pada masa Nubuwwah. Pasca masa Nubuwwah, realitas syura ini masih terlihat pada masa Khulafa ar Rasyidun. Pada masa Banu Umayyah, Banu Abbassiyyah, dan Banu Utsmaniyyah, realitas syura ini sudah mulai berkurang; tergantung siapa penguasanya. Pada masa setelah itu, realitas syura dalam tataran global seperti sebelumnya benar-benar telah terkikis. Masa ini adalah masa diktatorisme, penguasa yang sewenang-wenang. Kalaupun ada, syura itu dilakukan oleh serpihan-serpihan terpisah gerakan Islam.
Kitalah salah satu dari serpihan itu. Tradisi syura menjadi agenda keseharian kita. Permasalahan umat yang cukup banyak dan kompleks memang membutuhkan berbagai solusi yang jitu. Penentuan solusi itu hanya dapat ditetapkan melalui mekanisme syura. “Tiada hari tanpa syura”, mungkin begitu gambarannya. Wajar jika kita dikenal dengan “ahlu syura” atau “mansur” (manusia syura). Bahkan, karena sering syura, ada virus baru, yaitu virus SARS (Sedikit Amal Rajin Syura). Lantas, apakah sering syura itu suatu kesalahan? Atau bagaimana? Di mana letak permasalahannya?
Kita harus memahami syura itu terlebih dahulu. Dalam benak kita, syura diartikan sebagai “kumpul-kumpul” tanpa mempedulikan ada pembahasan dan pengambilan keputusan atau tidak. Di sinilah letak permasalahan utamanya. Dengan pemahaman seperti itu, peserta syura cukup merasa datang tepat waktu, duduk mendengarkan, sesekali bicara, setelah itu pulang. Padahal, esensi syura mengehendaki lebih dari itu. Ada perbedaan antara syura dengan rapat (merapatkan posisi duduk). Entitas syura menghendaki adanya pembahasan masalah dan pengambilan keputusan. Kalau tidak ada dua hal ini, maka itu hanyalah rapat yang di dalamnya mungkin hanya ada sosialisasi dan penyampaian informasi-informasi. Jadi harus jelas terlebih dahulu : syura atau rapat? Jika ternyata syura, agenda pembahasan dan pengambilan keputusan harus jelas.
Dengan pandangan demikian, diharapkan peserta akan benar-benar mempersiapkan segala sesuatunya sebelum syura. Ia harus mencari informasi-informasi tentang permasalahan dan usulan solusinya. Sehingga ketika syura, setelah sebelumnya dilakukan penyamaan persepsi terhadap objek permasalahan, akan terjadi pembahasan yang “luar biasa”. Masing-masing peserta syura telah memiliki usulan solusi dan memperbandingkannya dengan yang lain. Dan dicarilah solusi yang paling jitu. Di sinilah “perasan” itu. Maksudnya, syura harus mampu melakukan “perasan” intelektual dari berbagai ide peserta. Ide-ide yang terperas itu akan menghasilkan suatu intisari solusi yang berkualitas yang dimanifestasikan dalam sebuah pengambilan keputusan. Dan itu adalah hasil dari “perasan” intelektual dari pikiran (otak) seluruh peserta syura, bukan beberapa peserta syura. Beda dengan “pemerasan” yang tidak memeras intelektual, tapi memeras yang lain seperti emosional (perasaan) karena merasa tidak terlibat atau memeras hak-hak ukhuwah lainnya. Itu semua terjadi karena kita menganggap syura itu seperti rapat saja, yaitu merapatkan posisi duduk. Wa Allahu A’lam.

MENENGOK ULANG HALAQAH KITA…

by aulia agus iswar
Tarbiyyah memiliki berbagai perangkat yang menyokongnya. Ada perangkat yang utama dan ada juga perangkat yang berfungsi sebagai penunjang. Perangkat tarbiyyah yang paling utama adalah usrah atau sekarang disebut sebagai halaqah yang beranggotakan sekitar sepuluh sampai dua puluh orang. Aktivitas halaqah menjadi aktivitas pekanan yang sangat wajib kita ikuti. Kemudian, sudah berapa lama kita mengikuti halaqah? Pertanyaan berikutnya : apa yang kita pahami tentang halaqah itu?
Mungkin kita pahami terlebih dahulu bahwa halaqah bukanlah hal yang baru. Dalam sirah Rasulullah, kita akan temui realitas halaqah ini secara jelas, khususnya di Darul Arqam periode Makkah. Dalam peradaban-peradaban Islam setelahnya pun kita dapati realitas halaqah. Pada masa Banu Abbassiyyah, lingkaran-lingkaran berupa halaqah seperti ini dapat kita temui di Palestina, Suriah, Mesir, Faris, Sijistan, dsb. Imam asy Syafi’I pun memiliki halaqah di Masjid ‘Amr kota Fusthat. Ia mengajarkan berbagai materi setiap pagi hingga wafatnya pada tahun 820 M. Lingkaran halaqah tersebut mengitari seorang faqih yang mengajarkan beberapa ilmu tertentu di masjid-masjid. Ternyata, bukan ilmu agama saja yang diajarkan, tetapi juga ilmu linguistik dan puisi. Hal ini bertahan hingga abad XI. Halaqah-halaqah di masjid tadi mendorong terbentuknya pusat-pusat pendidikan di rumah para bangsawan dan kalangan masyarakat berbudaya. Pusat-pusat pendidikan ini dinamakan majalis al adab (lingkar sastra). Memang, realitas halaqah seperti ini hilang hingga beberapa abad kemudian, seiring dengan kemunduran umat Islam. Kini, bumi mulai dipenuhi kembali oleh halaqah-halaqah.
Lantas, apa itu halaqah? Bisa jadi, halaqah mengalami perubahan-perubahan makna tergantung dari kondisi dan zamannya. Jika kita perhatikan dua realitas di atas, antara halaqah Darul Arqam dengan halaqah masa Banu Abbassiyyah, sepertinya memiliki perbedaan makna. Pada masa Darul Arqam halaqah benar-benar menjadi perangkat tarbiyyah untuk menanamkan aqidah secara kuat, bukan berorientasi secara utama kepada materi keilmuan. Tarbiyyah seperti ini berorientasi membentuk kepribadian seorang muslim yang militan. Tapi, ketika waktu terus berjalan, da’wah Rasulullah terus berekspansi dan mampu mengislamkan banyak qabilah dan orang di Jaziah Arab bahkan sebagian Afrika. Sebagian orang yang telah masuk Islam itu, ada yang tidak tertarbiyyah dengan baik. Maka wajar, pasca wafatnya Rasulullah, banyak qabilah dan orang Islam yang murtad. Abu Bakar memberantasnya dalam Perang Riddah. Kemudian, halaqah itu sepertinya memiliki pergeseran makna pada masa Banu Abbassiyyah. Pada masa ini, halaqah menjadi perangkat tarbiyyah yang berorientasi kepada materi keilmuan. Hal ini wajar karena pada masa ini umat Islam berada pada masa kejayaan dan kemapanan. Ilmu kemudian menjadi prioritas. Berbeda dengan periode Makkah yang berorientasi kepada penanaman aqidah dan pembentukan kepribadian yang militan.
Menurut penulis, kondisi dan zaman sekarang bukan zaman kejayaan Islam, tapi zaman kematangan, yaitu zaman transisi dari kebangkitan menuju.kemenangan dan kejayaan. Di sini pun halaqah memiliki makna yang agak sama dengan pada masa Darul Arqam. Jadi, halaqah sekarang bukan berorientasi kepada materi keilmuan sebagai titik tekan utama (materialistis), tapi kepribadian, ilmu hanyalah salah satu faktor. Untuk membentuk kepribadian ini tentunya dibutuhkan pemahaman. Entitas pemahaman (al fahmu) ini setingkat di atas ilmu. Pemahaman di sini berarti pemahaman terhadap manhaj Islam baik secara konseptual maupun implementasi sekaligus.
Jadi, selama ini, halaqah kita adalah halaqah manhaj. Yang kita serap dan terapkan adalah manhaj, bukan materi keilmuan. Kita “mencari” manhaj, bukan mencari ilmu. Jika ingin mencari ilmu, atau meningkatkan ruhiyyah, atau ingin fisik yang kuat ansich, bukan halaqah tempatnya. Carilah ma’had-ma’had Islam untuk mencari ilmu. Carilah majelis-majelis mudzakarah untuk meningkatkan ruhiyyah kita. Atau carilah perguruan-perguruan bela diri jika ingin fisik yang kuat. Tapi halaqah ingin membentuk kepribadian yang mencakup ketiga hal tersebut. Sehingga, halaqah sebagai perangkat terpisah, tidak mampu memenuhinya sendirian. Karenanyalah, halaqah hanya menanamkan manhaj, bukan ilmu.
Manhaj adalah intisari dari ilmu itu sendiri. Banyak orang yang memiliki ilmu keislaman, tetapi ternyata tidak memiliki pemahaman atas intisarinya, yaitu manhaj Islam. Setiap saat, manhaj kita “diasah” dengan diinternalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan ‘amal sehari-hari agar semakin “tajam”. Manhaj dapat diartikan sebagai metodologi yang menjiwai (ruh) ajaran Islam sebagai satu bentuk sistem. Manhaj memberikan kepada kita seperangkat solusi-sistemik untuk membingkai kehidupan. Pemahaman atas manhaj inilah yang akan membentuk kepribadian, mencetak kekhalifahan, mendirikan kekhilafahan, dan membangun peradaban. Bagaimana, rekan-rekan? Wa Allahu A’lam.

MENCARI ISTERI FIR’AUN

by aulia agus iswar
Bayi mungil itu didekap ibunya. Baru saja ia terlahir. Namun perasaan seorang ibu mencemaskannya. Karena berlaku peraturan di negerinya bahwa setiap bayi laki-laki harus dibunuh. Atas perintah dari Allah, bayi itu pun dihanyutkan di sungai Nil. Sampailah bayi itu ke dekat istana Fir’aun, sang penguasa. Asiyah, isteri Fir’aun, melihat bayi itu. Ia sangat menyukai bayi laki-laki itu. Akhirnya, ia memohon kepada Fir’aun agar diizinkan untuk mengambil bayi itu sebagai anak mereka dan ia akan dibesarkan istana. Pada awalnya, Fir’aun menolak, tapi akhirnya bayi itupun diizinkan untuk diangkat sebagai anak. Padahal, tahun itu adalah tahun di mana setiap bayi laki-laki harus dibunuh.
Sebelumnya, Fir’aun pernah bermimpi tentang sesuatu yang sangat menakutkan. Menurut penafsiran mimpi, di masa yang akan datang akan lahir seorang anak laki-laki Bani Israil yang akan menghancurkan kekuasaannya. Kemudian Fir’aun membuat peraturan agar semua bayi laki-laki dibunuh. Tapi seorang penasehat istana memberikan pertimbangan, jika semua bayi laki-laki dibunuh, maka istana tidak akan mendapatkan tenaga laki-laki yang cukup. Pertimbangan inilah yang mengubah keputusan Fir’aun menjadi membunuh seluruh bayi laki-laki di tahun pertama dan membiarkan hidup bayi laki-laki di tahun berikutnya. Demikian seterusnya hingga lahir seorang bayi laki-laki pada tahun di mana bayi laki-laki dibiarkan hidup. Bayi itu bernama Harun. Karena itulah Harun selamat dari pembunuhan oleh Fir’aun. Dan bayi laki-laki yang dihanyutkan ke sungai Nil tadi adalah adiknya, yaitu Musa. Mereka berdualah yang kelak akan membebaskan Bani Israil dari kezhaliman Fir’aun.
Asiyah mendidik dan membesarkan Musa di lingkungan istana. Musa diberikan pengajaran yang banyak. Ia menimba ilmu dari istana dan mengalami langsung kehidupan di dalamnya. Apa yang didapatnya dari istana inilah yang akan menjadi bekal perjalanan da’wahnya bersama Harun di masa yang akan datang. Ini semua adalah berkat jasa Asiyah (dengan campur tangan Allah tentunya) yang memohon kepada Fir’aun untuk mengadopsi Musa. Fir’aun mengabulkan. Dan ia tidak menyadari bahwa bayi itulah yang dikabarkan dalam mimpinya. Hingga suatu ketika, hancurlah Fir’aun beserta kekuasaan dan para pengikutnya; ditenggelamkan di Lautan Merah.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Musa ini adalah bahwa musuh itu bukan diciptakan untuk selalu “dimusuhi” dan “dijauhi”. Fir’aun dan istananya adalah simbol dari kezhaliman, kesombongan, dan keangkaramurkaan. Tapi di dalamnya ada Asiyah yang menjadi simbol kebaikan. Asiyah adalah orang yang beriman dan ia menentang “ketuhanan” Fir’aun. Ia bagaikan sebutir mutiara di dalam kubangan lumpur busuk. Musa “didekatkan” oleh Allah kepada sebutir mutiara itu. Musa dibesarkan oleh mutiara tadi dalam kubangan lumpur istana Fir’aun yang ternyata ada butiran-butiran kebaikan di dalamnya, seperti ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, Musa Sang Pembela Kebenaran itu “mencuri” peradaban Fir’aun untuk kemudian menghancurkan hegemoninya.
Begitulah Islam. Semua sistem yang tidak dilandasi oleh Islam adalah sistem jahili. Sistem yang ada kini seperti liberalisme (demokrasi dan kapitalisme) dan komunisme (sosialisme dan etatisme) semuanya adalah sistem jahili. Peradaban yang dibangunnya pun peradaban jahiliyyah. Tapi, bukan berarti tidak ada “mutiara-mutiara” dan butiran kebaikan di dalamnya. Dalam sistem demokrasi, suara mayoritas sangat dihargai. Ini agak mirip dengan sistem Islam. Beberapa nilai kapitalisme juga ada yang sesuai dengan Islam, yaitu usaha perekonomian serta kebebasan individu. Demikian juga dengan sistem komunisme. Beberapa nilai sosialisme yang menghendaki rasa sosialis (kolektif) juga sesuai dengan Islam. Beberapa nilai etatisme pun begitu, individu tidak diberikan kebebasan secara mutlak, ia harus tunduk kepada aturan negara yang merupakan representasi dari jiwa kolektif.
Nilai-nilai Islam tersebar berserakan di berbagai sistem itu. Dan ini adalah karakter zaman sekarang, yaitu zaman ketika umat Islam belum memiliki kepemimpinan tunggal (al khilafah). Karakter zaman seperti inilah yang mengharuskan pergerakan Islam untuk menyatukan kepingan yang berserakan itu, bukan malah menjauhinya. Justeru kita harus memanfaatkan sistem-sistem itu untuk menyatukan kepingan Islam. Sekali lagi, kita mengingkari sistem dan peradaban jahili itu. Namun bukan berarti kita malah menjauh darinya dan berdiri di tepi-tepi peradaban. Kita harus masuk bahkan sampai ke tengah-tengah dan pusat peradaban.
Karakter zaman sekarang menghendaki penerapan ajaran secara kaaffah belum dapat dilakukan. Sehingga kita “membutuhkan” sistem-sistem dan peradaban jahili itu. Tapi jika satu zaman nanti khilafah sudah berdiri, maka kita sama sekali tidak membutuhkan sistem-sistem itu.
Kini, kita harus mendekati dan masuk ke dalam sistem hegemoni jahili, mencuri peradabannya, “mencari isteri Fir’aun”, dan menghancurkan hegemoni-hegemoni jahili itu dengan membangun hegemoni Islam. Allahu Ma’ana..

BINTANG YANG TENGGELAM DI BAHTERA

by aulia agus iswar
Kehidupan seorang anak manusia adalah suatu perjalanan yang senantiasa dihadang oleh berbagai pilihan: terus maju, diam di tempat atau malah mundur ke belakang. Kebahagiaan hidup adalah dengan melalui jalan yang penuh bertabur “bunga-bunga keabadian” di kanan-kirinya. Kemudian meninggalkan jalan yang telah dilaluinya menuju jalan lain yang telah menunggu terbentang di depan sana.
Inilah filosofi tarbiyyah. Kehidupan dunia akan terus berjalan seiring dengan berjalannya usia umat manusia dan semakin berevolusinya, secara materi, peradaban dunia. Pergolakan antara pengusung panji-panji kebenaran (tarbeeya; al bina’)dengan pengusung panji-panji kebathilan (untarbeeya; al hadm) adalah suatu hal yang abadi yang senantiasa menjiwai setiap perjalanan dunia. Bergolak, dunia terus bergerak! Manusia-manusia penghuni dunia pun akan senantiasa dihadapi oleh berbagai pilihan. Hanya ada dua pilihan; tidak ada pilihan lain : menjadi subjek penggerak atau menjadi objek yang digerakkan. Pilihan menjadi subjek penggerak adalah pilihan kebahagiaan, sama seperti pilihan untuk terus melalui jalan. Menjadi subjek penggerak membutuhkan implementasi sebagai konsekuensi logis dari idealismenya. Ia adalah jiwa yang berkata-kata. Ia adalah jiwa yang senantiasa berpikir dan merenung. Ia adalah jiwa yang senantiasa bergolak dalam segala gerak-geriknya. Ia adalah jiwa pembebas dan pemberontak. Karena memang ia dilahirkan dan dikeluarkan (QS 3:110,..ukhrijat..) kepada umat manusia untuk menjadi penggerak.
Ia tidak berdiam diri dengan segala keterbatasannya. Ia sangat yakin bahwa Rabbnya telah menganugerahkan potensi-potensi tersembunyi luar biasa dalam dirinya. Ia akan menjadi mulia dengan pemanfaatan potensi-potensi itu untuk kebenaran. Ia senantiasa bergerak dengan perbaikan diri. Ia ingin memunculkan segala potensinya yang terpendam di dalam ruang yang terkunci. Ia hanya bisa membukanya dengan kunci yang tepat. Kunci itulah tarbiyah. Yang akan senantiasa menjadikannya terus tumbuh bergerak menjadi baik dan terus menjadi baik. Sampai nanti ketika tiba saatnya ia menghadap Rabbnya; ia berada dalam keadaan terbaik (husnul khatimah) dari seluruh perjalanan hidupnya. Dan inilah tarbiyah itu!
Seorang penggerak adalah bagaikan penyeberang jalan atau orang asing yang sedang melintasi jalan. Tidak lama diam di tempat. Ia akan terus bergerak dengan cepat. Tingkat mobilitasnya tinggi. Ia senantiasa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Seolah-olah ia tidak betah dengan tempatnya berdiri; tidak betah dengan dunia ini. Ia akan terus bergerak, terus bergolak, terus maju sampai ia dapatkan apa yang jadi tujuan tertingginya. Ia sadar betul ada jalan-jalan pintas (the highway) yang bisa dilaluinya. Selain itu ada juga jalan sangat pintas (the super highway) untuk sampai di tujuan tertingginya. Kisah seorang syaikh Nusantara di Saudi Arabia yang bermimpi melihat sejumlah pasukan pemuda yang berkuda tak terlalu digubrisnya.[1]
Ya, para penggerak itu adalah para pengibar panji di bukit yang tinggi menjulang. Yang perkasa, yang tidak mudah takluk dengan ancaman dan cemoohan. Yang berani terus menerobos jalan yang penuh dengan tantangan yang sebetulnya adalah “bunga-bunga keabadian”. Mereka adalah bintang. Tapi, mereka bukan bintang yang tenggelam di samudera yang luas. Mereka juga bukan seperti manusia yang tenggelam terhempas oleh gelombang samudera yang dahsyat. Mereka pun bukan seperti manusia yang hanya mau digerakkan oleh kebathilan dunia. Mereka juga bukan seperti manusia yang berdiam diri di tempat karena ragu dan bimbang. Melainkan, ia adalah seperti manusia yang tajam menatap “masa depan”; tegar menghadapi dahsyatnya gelombang; yang bergejolak jiwanya ketika secercah cahaya kemilau di depan sana memanggilnya. Ya, ia akan terus melaju menggapai secercah cahaya kemilau itu. Meninggalkan manusia yang hanya bisa menatapnya pergi karena terombang-ambing di keluasan samudera. Ia pergi melaju dengan bahtera, menaklukkan luasnya bentangan samudera. Hingga hanya horizon yang tampak di kejauhan sana. Ia tak tampak lagi oleh pandangan mata, karena ia adalah “Bintang yang Tenggelam di Bahtera”.
1 Terbetik kisah seorang syaikh Indonesia pada masa Pemilu 1999 lalu. Syaikh tersebut sedang berada di Saudi Arabia. Kampanye partai politik pun juga digelar di tanah suci itu. Hampir semua parpol Islam sudah “melamar” syaikh tersebut untuk turut bergabung, kecuali Partai Keadilan. Para utusan parpol itu mendistribusikan brosur-brosur. Tapi jawab syaikh tadi selalu “Saya mau istikharah dulu.” Setelah beberapa saat kemudian, syaikh tadi bermimpi. Dalam mimpinya, beliau memasuki sebuah restauran dan memesan makanan. Tapi, beliau langsung muak dan segera meninggalkan restauran tersebut setelah tahu apa yang dihidangkan. Ketika syaikh tersebut keluar dari restauran, beliau menyaksikan sepasukan pemuda berkuda di kejauhan. Ketika pasukan berhenti di sebuah kaki bukit, seorang pemuda dari mereka berlari ke atas bukit sambil membawa sebuah panji besar. Sesampainya di atas bukit ditancapkanlah panji besar itu dan berkibarmegahlah ia. Dari panji itu terlihat jelas sinar kemilau keemasan; dua buah bulan sabit saling membelakangi yang dipisahkan oleh sebuah garis lurus di tengahnya! Setelah beberapa hari kemudian, syaikh tadi melihat salah satu parpol Islam : “Lambang parpol itu mirip dengan lambang panji yang kulihat dalam mimpiku” kata beliau. Maka, yakinlah beliau bahwa parpol inilah yang seharusnya beliau pilih dan dukung (bersama para pengikutnya); Partai Keadilan! (Sumber : Bayanat Partai Keadilan)