Thursday, February 8, 2007

B A H A S A C I N T A

by aulia agus iswar
Dalam perjalanan ke Barat (Journey to the West)-nya, Sun Go Kong (sosok dalam legenda orang China), tiba di suatu desa. Di desa itu ia melewati sebuah sungai yang jernih. Tiba-tiba ia melihat seekor ikan yang seperti akan tenggelam. Ikan itu terlihat seperti kehabisan nafas, menurutnya. Segera dengan sigap ia menolong ikan itu dan membawanya ke darat. Kemudian ditidurkannya ikan itu di atas tanah dengan alas dedaunan. Ada seseorang yang memperhatikan tindakan Sun Go Kong ini. Penasaran, ia bertanya kepada Go Kong. “Kenapa kau bawa ikan itu ke darat?” tanyanya. “Tadi aku lihat ikan ini mau tenggelam, maka aku tolong dia dan aku baringkan dia di sini, supaya tidak tenggelam ke dalam sungai.” Jawab Go Kong.
Ada lagi kisah seorang bangsawan dalam legenda China. Ia, bangsawan itu, sangat menyukai binatang peliharaan, khususnya burung. Ia terbiasa hidup dalam kemewahan. Makan dan minum yang enak dan lezat, semuanya tersedia. Suatu saat, tiba-tiba ia mendapat seekor burung merak yang sangat cantik dan indah. Ia sangat menyukai dan mencintainya. Hari-hari dan waktunya dihabiskan untuk si merak tadi. Hingga suatu saat ia berpikir. Mulai saat itu, ia ingin menjamu si merak tadi dengan makanan-makanan dan minuman-minuman mewah seperti yang ia sering santap. Maka dihidangkanlah makanan dan minuman yang enak dan lezat. Ia berpikir ini pasti akan membuat si merak menjadi senang. Tapi ternyata, si merak tidak ingin memakan hidangan untuk manusia itu. Dipaksalah burung itu untuk makan. Hingga matilah burung itu karenanya. Si bangsawan tadi pun merasa sangat sedih.
Dua kisah di atas jelas hanyalah sebuah legenda. Tapi, ibrah dan hikmah yang dapat kita ambil sangatlah berarti, mengalahkan cerita itu sendiri. Ibrah dan hikmah apa yang bisa kita ambil? Sun Go Kong tentunya sangat berniat baik. Ia dengan tulus ingin menolong seekor ikan yang menurutnya akan tenggelam. Tapi, apakah ada di dunia ini ikan yang akan tenggelam di dalam air? Bukankah air itu adalah habitatnya? Bukankah sungai itu adalah buminya sama seperti kita menganggap bahwa tanah yang kita pijak ini adalah bumi kita? Demikian juga dengan bangsawan tadi. Ia tentu sangat mencintai burung merak miliknya. Ia tentu menginginkan yang terbaik untuknya. Lantas apa yang salah dengan Go Kong dan si bangsawan? Ya, bahasa cinta Go Kong dan si bangsawan tidak sesuai dengan bahasa cinta (kebutuhan) si ikan dan si merak. Go Kong adalah manusia yang bisa tenggelam di air. Ia pun berpikiran bahwa ikan pun bisa tenggelam di air. Justeru sebaliknya, ikan justeru akan “tenggelam” dan mati bila di darat. Si bangsawan mengira bahwa kesenangan bagi manusia adalah kesenangan juga bagi si merak. Ternyata, kesukaan si merak dengan manusia jelas berbeda. Si merak cukup senang dengan makanannya sendiri, tidak perlu makanan manusia yang mewah. Jadi, ada ketidaksesuaian (no matching) bahasa cinta di sini.
Bahasa cinta itu harus menemukan tempatnya, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang dicintainya. Jika seseorang mencintai sesuatu, maka ia akan memberikan yang terbaik bagi yang dicintainya. Makna “terbaik” di sini ia menggunakan perspektifnya sendiri, tanpa melihat “terbaik” dari perspektif sesuatu yang dicintainya. Maka, bahasa cintanya tidak akan menemukan tempatnya. Tapi jika ia memberikan bahasa cintanya dengan yang terbaik sesuai perspektif yang dicintainya itu, maka bahasa cintanya akan menemukan tempatnya. Orang yang haus, diberi minum, jangan malah diberi makanan atau air laut. Orang yang lapar, diberi makanan, jangan malah diberi minum. Orang bodoh yang harus pintar, maka ajarilah.
Kita ambil contoh lain. Sering, ketika pulang dari bepergian dan sesampainya di rumah, ada keluarga yang bertanya kepada kita : “Sudah pulang?” Terkadang kita berpikir, untuk apa menanyakan hal-hal yang sudah jelas jawabannya. Kalau kita sudah sampai rumah, jelas kita sudah pulang. Tunggu dulu. Bisa jadi itu adalah bahasa cintanya kepada kita. Salah satu fungsi komunikasi adalah pernyataan eksistensi diri. Dengan bertanya seperti itu, berarti keluarga kita ingin menunjukkan bahasa cintanya dengan menganggap eksistensi diri kita, kita dianggap ada. Komunikasi untuk menunjukkan bahasa cinta seperti keramahan dan kelembutan ini dinamakan phatic communication.
Sering seseorang merasa marah atas tindakan dan perlakuan orang lain terhadap dirinya. Padahal ia tidak sadar bahwa sesungguhnya itu dilakukan oleh orang yang mencintainya demi kebaikan dirinya. Kita pun harus bisa memahami perilaku orang lain kepada kita, siapa tahu itu adalah bahasa cintanya kepada kita. Demikianlah. Dengan memahami bahasa cinta ini, setidaknya kita bisa mencintai sesuatu dengan tepat. Dan kita juga dapat memahami bahasa cinta orang lain kepada kita atau yang lainnya.
Di antara bahasa-bahasa cinta di dunia ini, ada bahasa cinta yang agung dariNya. Allah tidak mengabulkan do’a dan permohonan hambaNya. Di sini, seolah Allah tidak menampakkan cintaNya kepada para hamba. Tapi sesungguhnya, Allah “mengabulkan” apa yang dibutuhkan oleh seorang hamba itu, meskipun si hamba merasa tidak butuh. Allah memberikan apa yang terbaik bagi hambaNya, bukan berdasarkan apa yang diinginkan oleh seorang hamba. Karena Allah-lah yang Maha Mengetahui apakah sesuatu itu terbaik, baik, buruk, atau terburuk bagi kita. Inilah bahasa cinta Allah kepada hambaNya. Allahummarhamna…

No comments: