Thursday, February 8, 2007

MENENGOK ULANG HALAQAH KITA…

by aulia agus iswar
Tarbiyyah memiliki berbagai perangkat yang menyokongnya. Ada perangkat yang utama dan ada juga perangkat yang berfungsi sebagai penunjang. Perangkat tarbiyyah yang paling utama adalah usrah atau sekarang disebut sebagai halaqah yang beranggotakan sekitar sepuluh sampai dua puluh orang. Aktivitas halaqah menjadi aktivitas pekanan yang sangat wajib kita ikuti. Kemudian, sudah berapa lama kita mengikuti halaqah? Pertanyaan berikutnya : apa yang kita pahami tentang halaqah itu?
Mungkin kita pahami terlebih dahulu bahwa halaqah bukanlah hal yang baru. Dalam sirah Rasulullah, kita akan temui realitas halaqah ini secara jelas, khususnya di Darul Arqam periode Makkah. Dalam peradaban-peradaban Islam setelahnya pun kita dapati realitas halaqah. Pada masa Banu Abbassiyyah, lingkaran-lingkaran berupa halaqah seperti ini dapat kita temui di Palestina, Suriah, Mesir, Faris, Sijistan, dsb. Imam asy Syafi’I pun memiliki halaqah di Masjid ‘Amr kota Fusthat. Ia mengajarkan berbagai materi setiap pagi hingga wafatnya pada tahun 820 M. Lingkaran halaqah tersebut mengitari seorang faqih yang mengajarkan beberapa ilmu tertentu di masjid-masjid. Ternyata, bukan ilmu agama saja yang diajarkan, tetapi juga ilmu linguistik dan puisi. Hal ini bertahan hingga abad XI. Halaqah-halaqah di masjid tadi mendorong terbentuknya pusat-pusat pendidikan di rumah para bangsawan dan kalangan masyarakat berbudaya. Pusat-pusat pendidikan ini dinamakan majalis al adab (lingkar sastra). Memang, realitas halaqah seperti ini hilang hingga beberapa abad kemudian, seiring dengan kemunduran umat Islam. Kini, bumi mulai dipenuhi kembali oleh halaqah-halaqah.
Lantas, apa itu halaqah? Bisa jadi, halaqah mengalami perubahan-perubahan makna tergantung dari kondisi dan zamannya. Jika kita perhatikan dua realitas di atas, antara halaqah Darul Arqam dengan halaqah masa Banu Abbassiyyah, sepertinya memiliki perbedaan makna. Pada masa Darul Arqam halaqah benar-benar menjadi perangkat tarbiyyah untuk menanamkan aqidah secara kuat, bukan berorientasi secara utama kepada materi keilmuan. Tarbiyyah seperti ini berorientasi membentuk kepribadian seorang muslim yang militan. Tapi, ketika waktu terus berjalan, da’wah Rasulullah terus berekspansi dan mampu mengislamkan banyak qabilah dan orang di Jaziah Arab bahkan sebagian Afrika. Sebagian orang yang telah masuk Islam itu, ada yang tidak tertarbiyyah dengan baik. Maka wajar, pasca wafatnya Rasulullah, banyak qabilah dan orang Islam yang murtad. Abu Bakar memberantasnya dalam Perang Riddah. Kemudian, halaqah itu sepertinya memiliki pergeseran makna pada masa Banu Abbassiyyah. Pada masa ini, halaqah menjadi perangkat tarbiyyah yang berorientasi kepada materi keilmuan. Hal ini wajar karena pada masa ini umat Islam berada pada masa kejayaan dan kemapanan. Ilmu kemudian menjadi prioritas. Berbeda dengan periode Makkah yang berorientasi kepada penanaman aqidah dan pembentukan kepribadian yang militan.
Menurut penulis, kondisi dan zaman sekarang bukan zaman kejayaan Islam, tapi zaman kematangan, yaitu zaman transisi dari kebangkitan menuju.kemenangan dan kejayaan. Di sini pun halaqah memiliki makna yang agak sama dengan pada masa Darul Arqam. Jadi, halaqah sekarang bukan berorientasi kepada materi keilmuan sebagai titik tekan utama (materialistis), tapi kepribadian, ilmu hanyalah salah satu faktor. Untuk membentuk kepribadian ini tentunya dibutuhkan pemahaman. Entitas pemahaman (al fahmu) ini setingkat di atas ilmu. Pemahaman di sini berarti pemahaman terhadap manhaj Islam baik secara konseptual maupun implementasi sekaligus.
Jadi, selama ini, halaqah kita adalah halaqah manhaj. Yang kita serap dan terapkan adalah manhaj, bukan materi keilmuan. Kita “mencari” manhaj, bukan mencari ilmu. Jika ingin mencari ilmu, atau meningkatkan ruhiyyah, atau ingin fisik yang kuat ansich, bukan halaqah tempatnya. Carilah ma’had-ma’had Islam untuk mencari ilmu. Carilah majelis-majelis mudzakarah untuk meningkatkan ruhiyyah kita. Atau carilah perguruan-perguruan bela diri jika ingin fisik yang kuat. Tapi halaqah ingin membentuk kepribadian yang mencakup ketiga hal tersebut. Sehingga, halaqah sebagai perangkat terpisah, tidak mampu memenuhinya sendirian. Karenanyalah, halaqah hanya menanamkan manhaj, bukan ilmu.
Manhaj adalah intisari dari ilmu itu sendiri. Banyak orang yang memiliki ilmu keislaman, tetapi ternyata tidak memiliki pemahaman atas intisarinya, yaitu manhaj Islam. Setiap saat, manhaj kita “diasah” dengan diinternalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan ‘amal sehari-hari agar semakin “tajam”. Manhaj dapat diartikan sebagai metodologi yang menjiwai (ruh) ajaran Islam sebagai satu bentuk sistem. Manhaj memberikan kepada kita seperangkat solusi-sistemik untuk membingkai kehidupan. Pemahaman atas manhaj inilah yang akan membentuk kepribadian, mencetak kekhalifahan, mendirikan kekhilafahan, dan membangun peradaban. Bagaimana, rekan-rekan? Wa Allahu A’lam.

No comments: