Thursday, February 8, 2007

GAGASAN INTELEKTUALITAS ISLAM DAN GERAK LAJU PERADABAN

by aulia agus iswar
Iqra! Bacalah! Pada awalnya, Allah memerintahkan kepada kita untuk membaca , sebelum shalat, shaum, zakat, haji atau jihad. Makna membaca di sini sangat luas. Quraisy Shihab menafsirkannya sebagai “menghimpun makna”. Bukan sekedar buku, tapi membaca alam (afaq) dan diri manusia (anfus) itu sendiri (Q.S. Fushshilat : 53). Dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Dr. Muh. Iqbal, afaq dan anfus telah dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Inilah karakter Islam yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Hal ini pulalah yang menjiwai da’wah Islam, khususnya setelah Rasulullah wafat.
Inklusifitas dan eksklusifitas Islam mengimplementasikan curiousity (keingintahuan) umat Islam pada masa itu untuk menggali intelektualitas (termasuk filsafat) peradaban Yunani. Pengetahuan-pengetahuan tersebut diadaptasi, direkonstruksi dan dikembangkan dengan prinsip-prinsip Islam.
Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam, adaptasi dan rekonstruksi ini mencakup Klasifikasi Ilmu, Kosmologi, Kosmografi, Geografi, Sejarah Alam, Fisika, Matematika, Astronomi, Kedokteran, Ilmu Manusia/Sosial-Humaniora (Sejarah, Anthropologi, Sosiologi, Psikologi), Kimia, dan Filsafat. Para intelektual muslim yang ensiklopedis (menguasai berbagai disiplin ilmu) bermunculan : Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Hayyan, Al Khawarizmi, Al Battani, Abul Qasim, Al Kindi, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, dsb. Prosesi dan rekonstruksi peradaban Islam ini terjadi pada rentang masa abad VII s.d. abad XV. Seiring dengan peradaban Yunani (Barat) berada pada masa kegelapan (the dark age). Islam memiliki sekaligus mengatur World Empire dan menghegemoni dunia.
Perlu kita perhatikan bahwa pada masa Peradaban Yunani, pengetahuan menggunakan metode “arm-chair”, bukan metode empiris. Hal ini juga diakui oleh Andre Bonnard dalam Civilization Grecque bahwa mulanya sains Yunani hanyalah merupakan teori, abstraksi, spekulasi dan hitung. Peradaban Islam coba menggagas metode empiris (eksperimen-eksperimen) dalam tradisi ilmiahnya. Maka, Islam mampu melahirkan bukan hanya sekedar teori tetapi juga alat (teknologi), yang berarti juga solusi konkret bagi kehidupan.
Itu adalah masa lalu. Sejak abad XVI hingga sekarang, ditambah runtuhnya Ottoman Empire, umat Islam berada pada keterpurukan, termasuk di bidang ilmu pengetahuan (intelektualitas). Hegemoni dunia kembali digenggam oleh Barat setelah Renaisans. Namun, jika kita telaah lebih dalam, hegemoni peradaban Barat, sejak awal renaisans, sangatlah rapuh. Banyak orang yang mengatakan bahwa Barat mengalami kemajuan intelektualitas yang sangat pesat. Realitas berbicara bahwa, menurut Muhammad Quthb, Barat maju karena mendikotomisasikan antara intelektualitas dengan agama. Sedangkan Islam justeru akan maju ketika agama itu tidak dikotomisasikan dari intelektualitas. Di sinilah kerapuhan Barat itu; kemajuan intelektual tidak disertai dengan kemajuan agama. Kita saksikan keterpurukan moral yang melanda. Inikah kemajuan itu!? Dengan realitas seperti ini, maka masyarakat Barat dan para pengikutnya akan menggunakan kemajuan intelektualitas tanpa mengindahkan norma-norma agama. Hal ini hanya akan menghancurkan peradaban mereka sendiri.
Agama bagi Barat hanya mencakup urusan akhirat. Urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada intelektualitas, bahkan banyak juga yang menjadikan intelektualitas sebagai agama. Urusan politik, ekonomi dan aspek lainnya diserahkan kepada apa yang dinamakan dengan liberalisme dan kapitalisme. Barat kini berada pada ambang pintu kehancuran.
Liberalisme Barat dan Sosialisme Timur sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman. Anthony Giddens merumuskan alternatif bagi dunia dengan “Jalan Ketiga” (the Third Way). Jalan ketiga ini, menurut penulis, adalah Islam. Geliat kebangkitan Islam selama ini telah terlihat. Ini juga dikuatkan oleh Roger Garaudy dalam Promesses de l’Islam yang berpendapat bahwa Islam adalah “Warisan Ketiga” bagi Barat, bahkan seluruh dunia, setelah dua warisan sebelumnya : warisan Yunani dan warisan Judeo-Christian.
Namun, apakah umat Islam telah siap untuk menghadapinya? Kita telaah sebab-sebab kemunduran Islam sejak abad XV. Dikatakan bahwa Islam akan maju ketika ada perpaduan antara agama dengan intelektualitas. Larena mundur ,berarti kini umat Islam telah mendokotomisasikan antara agama dengan intelektualitas (sekularisasi). Semenjak “perseteruan” antara Al Ghazali (Tahafut al Falasifah/Destruction of the Philosophers) dengan Ibnu Rusyd (Tahafut at Tahafut/Destruction of Destructor), akar sekularisasi itu muncul. Sesungguhnya, Al Ghazali hanya menolak filsafat metafisika, tidak semua filsafat ditolak olehnya. Namun, yang terjadi pada umat Islam pada masa itu adalah kesalahpersepsian dengan menggeneralisasi bahwa semua filsafat terlarang. Padahal sistematika filsafat itu sangat luas : metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, dan filsafat imu pengetahuan (sains, politik, sejarah, sosial, ekonomi, dsb.). Yang terlarang hanyalah metafisika, sedangkan yang lainnya kita membutuhkannya. Salah satu karakter filsafat adalah berpikir secara kritis, sistematis, dinamis dan integral/holistik. Wajar jika umat Islam mengalami kemunduran karena tidak berpikir kritis, tidak sistematis, statis dan parsial. Yang ada kemudian adalah madzhab-madzhab yang melahirkan fanatisme yang kemudian juga melahirkan kejumudan intelektual. Intelektualitas Islam pun kini juga terparsialisasi (terkotak-kotak antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain), tidak ada inovasi-inovasi dan tidak ada dinamisasi-dinamisasi.
Untuk itu, meskipun intelektual-intelektual muslim modern seperti Isma’il Raja Faruqi dan Ziaudin Sardar telah memulai, kita harus kembali merekronstruksi dan merekayasa intelektualitas kita. Blue print-blue print peradaban dan intelektualitas Islam perlu kembali digagas. Kita persiapkan diri kita. Islam adalah Jalan Ketiga dan Warisan Ketiga. Masa depan peradaban dunia adalah milik Islam. Wa Allahu Musta’an.

























No comments: