Thursday, February 8, 2007

SANG GURU

by aulia agus iswar
Betapa besar jasa dan pengorbanan seorang guru bagi para manusia. Bahkan seorang guru bisa menjadi orang tua ketiga setelah kedua orang tuanya. Seorang guru yang sejati akan benar-benar menjadi seorang pendidik dan pembimbing. Sang guru, adalah seorang murabbi yang di dalamnya terkandung unsur peran seorang pemimpin, peran seorang ayah, peran seorang kakak, dan peran seorang sahabat. Dalam peran-peran tersebut, sang guru juga memainkan fungsi sebagai seorang pemelihara, yang memperbaiki, yang mengembangkan, yang merubah ke arah yang lebih baik. Jika hal-hal ini terpenuhi, maka sungguh, seorang guru benar-benar menentukan arah hidup seorang manusia.
Dan kita saksikan, di balik kebesaran para tokoh selama perjalanan sejarah manusia, akan ada peran besar seorang guru, siapa pun guru itu; ayah-ibukah, ulamakah atau siapapun. Dan tentunya, bukan sembarang guru. Makna guru di sini adalah guru yang benar-benar guru, yang benar-benar menunjukkan jalan baginya, yang paling berpengaruh terhadap arah jalan kehidupannya dan yang menjadi contoh teladan baginya. Karena itu, bisa jadi orang yang selama ini kita sematkan identitas guru kepadanya, pada hakikatnya ia bukan guru, karena ia tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi arah dan perjalanan hidup kita; ia hanya simbol. Jadi, poin pentingnya adalah pengaruh yang cukup signifikan!
Seorang guru itu akan melakukan transfer of science dan transfer of value sekaligus; bukan science saja atau value saja. Dalam perjalanan hidupnya, seorang khalifah itu mengenal makna syaikh, ustadz dan juga mulazamah. Mulazamah dapat diartikan sebagai proses pendampingan dan penyertaan seorang murid kepada seseorang yang dianggap gurunya. Ia akan senantiasa mendampingi dan menyertai ke manapun sang guru itu pergi; ia menjadi asistennya. Dalam mulazamah ini, sang murid akan mendapatkan science dan value sekaligus karena ia melihat langsung implementasinya dalam keseharian hidup sang guru.
Ada dua fragmen sebagai perbandingan di sini. Fragmen pertama : ada seseorang yang memiliki tekad baja untuk berguru kepada seorang syaikh di negeri seberang. Dengan segenap usaha yang melelahkan dan pengorbanan yang besar karena jarak yang jauh, akhirnya ia berhasil menemui syaikh tadi. Kemudian diutarakannyalah tekadnya untuk menimba ilmu dari syaikh tadi. Diterimalah ia oleh syaikh dan diizinkanlah ia tinggal bersama syaikh tadi tapi dengan syarat ia harus melaksanakan tugas harian selama 1 tahun untuk membersihkan rumah syaikh tadi dan menyiapkan segala hal teknisnya (menyapu, mengepel, mencuci, dsb). Setelah 1 tahun lamanya, murid tadi merasa belum mendapatkan ilmu dari syaikh tadi. Dan habislah waktunya “menuntut ilmu” dari sang syaikh. Ketika ia akan pulang, ia mengeluh karena belum mendapatkan apa-apa. Syaikh itu menyadarkan bahwa sesungguhnya selama 1 tahun itu beliau telah mengajarkannya satu nilai, yaitu nilai tentang sabar. Di sini, seorang guru hanya melakukan transfer of value. Fragmen kedua : ada seorang mahasiswa yang menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi. Ia mendalami ilmu di sana selama beberapa waktu. Di sini, ia hanya mendapatkan transfer of science. Kasus pada fragmen pertama dan kedua tidaklah dapat merubah kepribadian dan internalisasi secara utuh. Idealnya, sang guru harus memberikan kedua-duanya : science dan value.
Demikian juga dengan para khalifah. Di balik kebesaran dan kegemilangannya, akan ada peran besar seorang guru. Dari sang guru itulah ia memperoleh science sekaligus value. Ia berguru kepadanya, menimba ilmu dan pengalaman darinya, dan menjadikannya sebagai pembimbing hidupnya. Maka kita saksikan.
Pada masa Bani Murabithun (generasi kedua kejayaan Islam di Andalusia setelah sebelumnya mengalami kemunduran pada generasi awalnya), di balik tokoh Yahya ibnu Ibrahim ada seorang guru bernama Abdullah ibnu Yasin. Kemudian pada masa Perang Salib, kita juga akan temukan sosok sang guru di balik kebesaran Shalahuddin al Ayyubi, yaitu syaikh Qadhi al Fadhil. Demikian juga dengan sosok sang guru di balik Muhammad al Fatih penakluk Konstantinopel, yaitu Syaikh Aaq Syamsudin.
Kemudian bagaimana dengan kita? Siapakah sang guru kita? Siapakah yang paling berpengaruh terhadap diri kita? Lalu, renungkan juga, apakah kita sudah layak menjadi sang guru bagi “murid-murid” dan “adik-adik” kita? Sejauh manakah kita menjadi sang guru bagi mereka….? Wa Allahu A’lam bi al Shawabi.

No comments: